Sebelumnya percaya diri, kini Kominfo minta bantuan Kedubes AS untuk kejar PSE asing
Kurang dari sebulan yang lalu, publik dibuat geger oleh kemungkinan terblokirnya sejumlah PSE lingkup privat oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Lewat konferensi pers Kominfo (19/7), Semuel Abrijani percaya diri bahwa seluruh PSE kesayangan masyarakat pasti akan mendaftar.
Akan tetapi, kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Setelah mengancam Google hingga Meta Group sampai daftar, Kominfo memblokir tujuh PSE asing yang aktif digunakan masyarakat pada Sabtu (30/7).
Dengan alasan belum mendaftar, Kominfo blokir STEAM, Dota, CS Go, PayPal, Yahoo, Origin dan Epicgames. Lewat pernyataan resminya, Kominfo mengaku telah berusaha menghubungi pihak PSE asing tersebut agar lekas mendaftarkan perusahaannya. Tidak hanya itu, Kominfo bahkan meminta bantuan dari kedutaan besar Amerika Serikat. Sayangnya, PSE terkait belum memberi respons.
Padahal sebelumnya, Semuel dalam konferensi pers (19/7) sempat menyatakan bahwa PSE asinglah yang akan dirugikan atas pemblokiran tersebut karena potensi kehilangan pangsa pasar di Indonesia.
"Pas konferensi pers mereka bilang, yang akan rugi adalah platform digital karena akan kehilangan pangsa pasar di Indonesia. Padahal, di sisi lain, yang mendapatkan dampaknya adalah penggunanya itu sendiri sebenarnya," ujar Nenden Sekar Arum dari SAFEnet lewat telesuara, Selasa (19/7).
Ketujuh PSE yang terblokir adalah platform yang digunakan masyarakat secara aktif, termasuk untuk mendapatkan penghasilan dan jadi sumber pendapatan. Maka, ketika pemutusan akses benar-benar terjadi, pemblokiran mempengaruhi perekonomian individu bahkan lebih luas lagi, nasional.
Seperti PayPal, aplikasi ini digunakan para pekerja lepas di industri kreatif untuk mendapatkan bayaran dari klien lintas negara. Sabtu lalu, mereka turut terancam karena dananya masih berada dalam akun PayPal. Menyikapi protes dari masyarakat, akhirnya Senin (1/8) pagi, Semuel mengumumkan, akses PayPal telah dibuka hingga lima hari kedepan agar para pemilik akun dapat melakukan penarikan dana.
Di samping itu, sektor lain yang terdampak adalah e-sport. Pasalnya, mereka yang menggeluti sektor tersebut menggantungkan kariernya dalam sejumlah platform gim daring, yang turut terblokir. Akibatnya, tindakan blokir dari Kominfo dinilai bisa mematikan potensi Indonesia dalam industri video gim.
Lantas, lewat pernyataannya, Dirjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani meminta maaf atas pemblokiran yang dilakukan Kominfo. Meskipun dirinya bersikeras bahwa tindakan pemblokiran dan juga keberadaan Permenkominfo dilakukan demi “menciptakan ruang digital yang kondusif, aman, dan nyaman”.
Menariknya, ketika sejumlah PSE gim legal diblokir, platform judi online justru lolos dalam pendaftaran PSE Kominfo. Hal ini tak pelak menghasilkan sejumlah kritik warganet. Meskipun begitu, Semuel turut memberikan tanggapan bahwa pihaknya percaya platform tersebut hanyalah wadah gim gaple biasa.
Di sisi lain, dengan tindakan Kominfo yang tidak mau ambil pusing, beberapa pihak telah menyusun siasat agar dapat mengakses PSE terblokir dengan mengandalkan Virtual Private Network (VPN).
"Untuk AG, kita masih coba cari jalan keluar untuk masalah ini, misalnya main pake VPN. Kalau hal itu juga tidak bisa jadi solusi pasti akan mengganggu sekali, soalnya kita sedang melakukan trial pemain dan akan mengikuti proses TI qualifier. Saya sangat dirugikan jika proses pemblokiran ini membuat kami tidak bisa berlatih sama sekali,” ujar perwakilan tim esport Army Geniuses (AG) kepada One Esports.
Namun, Praktisi Keamanan Digital Ruby Alamsyah kepada CNBC (26/7) sebelumnya menyatakan bahwa Kominfo tengah merancang kebijakan atas kemungkinan penggunaan VPN oleh masyarakat.
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta turut angkat suara terkait kegelisahan masyarakat akibat aksi Kominfo. "Pemerintah suka memakai jargon seolah-olah mendukung ekonomi kreatif dan ingin meningkatkan literasi digital tapi malah bertindak sebaliknya," tulis Shalel Al Ghifari selaku Pengacara Publik LBH Jakarta.
"Pembatasan situs internet dan aplikasi tersebut telah melahirkan apa yang disebut sebagai otoritarianisme yang memanfaatkan kuasa digital dalam rangka mengendalikan teknologi sebagai alat melindungi kepentingan," ujar pengacara LBH Jakarta, Teo Reffelsen dalam keterangannya, Minggu (31/7).
Hal senada juga turut disampaikan oleh SAFEnet, Nenden menyatakan bahwa suatu hari kita mungkin akan menghadapi yang disebutnya sebagai digital authoritarian.
Sekadar informasi, ketika artikel ini ditulis, total PSE asing yang telah mendaftar adalah 289 PSE, sedangkan dalam lingkup domestik telah terdaftar 8.750 PSE. Lantas, pemerintah masih mengejar PSE asing lainnya dan katanya, jika tidak daftar pun akan jadi peluang karya anak bangsa.