Bersama Museum MACAN, Bagus Pandega tampilkan karya pengingat musibah lumpur Lapindo
Seniman Bagus Pandega kali ini ikut menampilkan karya terbarunya yang bertajuk “Yesteryears” di pameran grup terbesar Museum MACAN yakni “Voice Against Reason”.
Bagus menjadi salah satu dari 24 seniman lintas Asia-Pasifik yang terlibat dan ikut menggali sebuah pertanyaan lewat sederet karya, yakni apa makna dari bersuara atau berpendapat.
Maka itu, “Yesteryears” pun menjadi salah satu cara seniman asal Bandung itu mengutarakan keresahannya tentang musibah lumpur Lapindo yang terjadi pada Mei 2006 silam.
Untuk pameran yang berlangsung sampai 24 April 2024 itu, seniman lulusan FSRD ITB itu membuat enam “patung” rumah miniatur dari menggunakan tiga mesin yang semuanya dibuat sendiri.
Lantas, bagaimana proses dan tantangannya? Yuk, simak hasil wawancara TFR dengan Bagus Pandega yang ditemui selepas pembukaan “Voice Against Reason”, Kamis (15/11).
Boleh diceritakan tentang apa karya “Yesteryears” sebenarnya?
“Yesteryears” tentang mengembalikan ingatan akan kejadian meletusnya lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Sudah terjadi hampir 20 tahun, penduduk asli sana masih merindukan rumahnya.
Makanya, saya meminta mereka gambar rumah terakhir yang diingat. Dengan memorinya, mereka inget jelas rumahnya dan lokasi persisnya di mana, dan pekerjaan terakhir sebelum rumah itu hilang.
Terus dari keenam gambar yang mereka buat, secara manual dibikin tiga dimensi, kita pakai scan 3D terus sedikit pengolahan digital untuk menyesuaikan dengan printer dan proses print ini.
Hasilnya file 3D print yang siap dicetak oleh mesin yang saya buat secara khusus untuk print lumpur.
Baca juga: Bagaimana tata kelola bisnis museum?
Kenapa tertarik angkat tentang rumah, lumpur Lapindo, dan ingatan?
Idenya karena penasaran dari dulu, pengen lihat ke sana. Sekalinya ke Lapindo, ternyata wow besar banget. Dari situ mikir, pengen bikin suatu karya dari sini. Ini kan isu yang sebenarnya besar tapi kenapa segampang itu hilang. Lumpur ini lumpur yang nggak habis-habis, sampai sekarang masih keluar.
Lumpur ini juga bisa dibilang material yang nggak ada nilainya, udah dibuang-buang saja. Meski akan keluar terus, nggak ada fungsinya. Aku juga nanyain ke penduduk lokal, mereka coba bikin genteng, gerabah, dan nggak berhasil. Pas saya bilang mau bikin tanah liat dari lumpur ini, mereka langsung bilang nggak bisa. Saat itu bahkan saya pulang cuma bawa satu botol kecil.
Setelah diutak-atik, kepikiran kayaknya bisa deh di-print. Terus sekarang kan juga banyak konten open source buat 3D print secara DIY. Namun, tentu akhirnya tetap dengan beberapa modifikasi karena tidak semua bahan dan materialnya tersedia di Indonesia, jadi kita sesuaikan dengan pasar.
Bagaimana tantangan pembuatan mesin instalasi ini?
Ada beberapa kali kesalahan pada pembuatan. Mikirnya lumpur ini kayak tanah liat, tetapi ternyata lumpur ini lebih korosif. Awalnya untuk alat-alat yang digunakan belum pakai stainless, jadi masih pakai besi dan bearing normal. Namun, pas kena lumpur semuanya langsung korosif, berkarat, dan rusak. Setelah itu langsung mutusin, untuk produksi karya ini semuanya harus stainless dan standar pabrik.
Apakah semua lumpur yang digunakan di pameran langsung dari Sidoarjo?
Iya, ini semua yang digunakan adalah lumpur Lapindo yang saya bawa langsung. Kalau dicium, sudah tidak ada baunya karena sudah melewati berbagai penyaringan sebelum masuk mesin. Sudah dipastikan tidak ada kerikil di lumpurnya, sehingga buliran yang lewat di mesinnya sudah halus saja.
Proses teknis untuk membuat mesinnya sendiri berapa lama?
Untuk bikin ketiga mesin ini menghabiskan waktu kurang lebih dua bulan. Karena ini kan juga mesin kedua yang sudah direvisi. Karya pertama itu cuma bikin satu mesin tapi tetap menghabiskan waktu dua bulan karena kan membuatnya lebih complicated karena dari nol dan belum kebayang harus ngapain.
Waktu aku diundang sama Aaron dari Museum MACAN, mereka ingin lebih banyak mesin. Saat itu aku putusin, ya sudah bikin dari baru aja. Mesin yang lama kita pensiunkan dan langsung bikin tiga buah. Mesin yang sekarang, sekali cetak miniatur patung rumah paling lama itu maksimal 4 jam 40 menit.
Bagaimana kamu mendapatkan dan mendeskripsikan signature style kamu?
Saya tertarik banget suatu hal yang dinamis. Awalnya saya belajar seni patung tapi semuanya kaku, setelah karyanya jadi ya patungnya diam. Setelah lulus, belum banyak yang praktiknya seperti saya, makanya coba suatu hal yang kinetik, sound, main-main sama cahaya, dan ada video juga.
Semua itu berjalan secara otodidak dari 2008 sampai sekarang. Setiap kali bekerja selalu ada kesalahan karena setiap berkarya juga selalu yang baru terus. Saya mau terus belajar lagi. Makanya, sekarang saya bikin printer, biar karyanya terlihat real-time, di mana ada mesin yang matung, bukan saya.
Apakah ada keseruan tersendiri gabung di pameran dengan banyak seniman lain seperti ini?
Saya sangat tertarik dengan karya yang ada unsur sosial-politik, isu kebudayaan. Waktu lihat line-up pameran ini, suka banget karena seniman yang bergabung rata-rata punya pemikiran yang sama. Pemikirannya mirip, cara berpikirnya juga cukup mikir, tetapi eksekusi yang sangat berbeda.