Pameran “Voice Against Reason” Museum MACAN gandeng 24 seniman lintas Asia-Pasifik
Setelah persiapan lebih dari setahun, Museum MACAN yang berlokasi di Jakarta Barat akan segera membuka pameran “Voice Against Reason” untuk publik mulai dari 18 November 2023.
Ini merupakan pameran yang menggandeng 24 seniman ternama lintas Asia-Pasifik, mulai dari Indonesia, Australia, Bangladesh, India, Jepang, Singapura, Thailand hingga Vietnam.
Pasalnya, pameran ini akan menghadirkan karya-karya komisi terbaru, proyek terkini dari para seniman, serta karya-karya kontemporer yang mengangkat dialog sejarah dan seni.
Selaras dengan judulnya “Voice Against Reason”, pameran grup besar ini akan menggali sebuah pertanyaan lewat sederet karya, yakni apa makna dari bersuara atau berpendapat.
Pameran ini merajut realitas yang terhubung dengan narasi-narasi pribadi, konteks sejarah, dan tema politik, serta geografi melalui sudut pandang para perupa dan lewat karya-karya mereka.
“Pameran ini dimulai dari gagasan bahwa perupa membantu kita dalam menyuarakan dan memberi bentuk pada isu-isu dan ide-ide yang terkadang bergolak di bawah permukaan, atau yang mungkin berlawanan dengan arus,” ujar Direktur Museum MACAN Aaron Seeto saat konferensi pers (15/10).
Menurutnya, di masa ini teknologi kadang mendorong keseragaman atau penulisan sejarah yang menyamarkan pengalaman individu dan pribadi yang berbeda-beda.
Maka dari itu, Aaron menegaskan, “Berbicara atau mengungkapkan pendapat adalah hal yang penting agar kita dapat melihat lingkungan sekitar dengan cara yang lebih kritis.”
Bukan sekadar pameran di Museum MACAN
Baginya, “Voice Against Reason” digagas tidak hanya sebagai sebuah pameran, tetapi sebagai sebuah wadah keterlibatan yang dinamis antara perupa, karya, dan pengunjung, yang diaktivasi melalui wicara, kuliah umum, pertunjukan, dan presentasi selama pameran berlangsung.
Bisa begitu karena ternyata “Voice Against Reason” dilengkapi dengan rangkaian diskusi, program kuliah terbuka, dan program-program yang terbuka untuk publik.
Rangkaian itu dirancang untuk memperdalam keterlibatan audiens ini diselenggarakan tim Kuratorial dan Edukasi Museum MACAN, dengan dukungan ko-kuratorial Putra Hidayatullah dan Rizki Lazuardi.
Salah satunya adalah wicara bersama Hyphen–, Kamruzzaman Shadhin, Nadiah Bamadhaj, Natasha Tontey, Sikarnt Skoolisariyaporn, dan Khaled Sabsabi bersama dengan para ko-kurator.
Acara yang digelar pukul 13.00-15.00 itu dibagi dua sesi. Sesi pertama membedah praktik artistik yang digunakan untuk menyampaikan memori kolektif. Sementara, sesi kedua fokus pada eksplorasi pergeseran praktik budaya dan tradisi–juga peran teknologi dan seni kontemporer dalam prosesnya.
Kurator Edukasi dan Program Publik Museum MACAN Nin Djani berkata, “Pameran ini menyoroti isu seputar kedaulatan, partisipasi, dan beragam cara kita menginterpretasi seni dan peristiwa.”
“Kerangka kuratorial ini mendorong kami untuk lebih banyak melibatkan siswa dan guru. Kami melakukan pendekatan-pendekatan baru dalam proses produksi materi pendidikan, dengan memperbanyak kolaborasi dan mengajak beragam komunitas untuk berkontribusi,” tambahnya.
Baca juga: Bagaimana tata kelola bisnis museum?
Mengenal para seniman di balik “Voice Against Reason”
Para seniman yang terlibat di antaranya Bagus Pandega, Nadiah Bamadhaj, Chang En Man, Heman Chong, Emiria Soenassa, Galih Johar, Shilpa Gupta, I Ketut Muja, I Wayan Jana, dan Ika Arista.
Ada juga Khadim Ali, Meiro Koizumi, Natasha Tontey, Tuan Andrew Nguyen, Rega Ayundya Putri, S. Sudjojono, Khaled Sabsabi, Kamruzzaman Shadhin, Sikarnt Skoolisariyaporn, dan Amin Taasha.
Lalu, karya Mumtaz Khan Chopan, Ali Froghi, and Hassan Ati serta dari Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso, Hyphen—, Tom Nicholson with Ary “Jimged” Sendy, Aufa R. Triangga, Nasikin Ahmad;
Selain itu, akan ada “Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang”, pertunjukan wayang oleh Jumaadi dan The Shadow Factory, dengan jadwal pertunjukan terbatas pada 18-26 November.
“Gagasan yang ada di karya mereka, sampai sekarang masih menjadi isu tersendiri dan kalau dikaitkan dengan Indonesia, beberapa isu yang mereka bawa beresonansi dengan masa sekarang, misalnya tentang apa sih institusi itu,” ujar Asisten Kuratorial Museum MACAN Aditya Lingga.
“Ada banyak gagasan yang bisa dipandang dari perspektif lain dan ternyata berhubungan sampai sekarang, meski itu dari masa lampau dan dari narasi yang mulai terlupakan,” tambahnya.
Jika ditanya kesamaan, para seniman ini menyuarakan sesuatu yang cenderung melawan arus, lewat karyanya mempertanyakan lagi hal yang selama ini ingin dipertanyakan tapi tidak selalu tersuarakan.