Angga Sasongko: Industri film Indonesia punya potensi besar
Pendiri dan CEO Visinema yang juga merupakan sutradara di balik sejumlah film ternama tanah air seperti “Mencuri Raden Saleh”, Angga Sasongko, mengungkap bahwa industri perfilman Indonesia memiliki masa depan cerah.
Terbukti dari adanya selebrasi “Renaissance of Indonesian Cinema” di Busan International Film Festival (BIFF) 2023, di mana dua film panjang Visinema, “24 Jam Bersama Gaspar” karya Yosep Anggi Noen dan “Ali Topan” karya Sidharta Tata, akan berkompetisi dengan film dari negara lainnya.
Potensi besar industri film lokal juga didukung oleh beragamnya karya film di Indonesia serta jumlah populasi Indonesia yang besar dan terus mengalami pertumbuhan.
“Penonton di Indonesia juga sangat terbuka dengan bakat, talenta, dan cerita baru. Ini tidak akan ketemu di emerging market manapun, kecuali Indonesia. Saya rasa dalam waktu dekat kita bisa menjadi signifikan di dunia dan akan lebih dipandang, seperti India, Jepang, atau Amerika,” ucap Angga dalam acara Media Gathering “Visinema Goes to Busan” di Jakarta, Kamis (7/9).
Ia kemudian melanjutkan, “Kami percaya potensinya besar sekali, pasarnya besar. Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap local content itu sangat besar. Kita juga sangat diverse dari segi geografis, suku, dan cerita dari berbagai sudut Indonesia.”
Di samping itu, menurut Aktor dan Ketua Komite Festival Film Indonesia (FFI) Reza Rahadian, tahun 2023 menandakan kebangkitan industri perfilman Indonesia usai pandemi.
Ini merupakan bukti positif bahwa Indonesia memiliki industri film yang tangguh, di mana para filmmaker dan insan film lainnya tak mudah menyerah serta dapat beradaptasi dengan segala situasi, sehingga patut diapresiasi.
“Tahun ini hampir setiap orang berkarya. It’s a good sign untuk film kita. Tahun ini kalau dilihat dari ragamnya, sangat diverse. Banyak talenta baru bermunculan dan ini adalah indikasi industri yang sehat,” terangnya.
Baca juga: Menemukan kebebasan berkesenian dalam film dokumenter
Di lain sisi, masih ada tantangan yang harus dihadapi
Kendati begitu, Angga memaparkan bahwa terdapat sejumlah tantangan terbesar yang saat ini masih menghalangi banyak pelaku di industri film, yakni akses terhadap pendanaan serta talenta.
“Tidak banyak perusahaan kreatif yang berkaitan dengan IP (kekayaan intelektual) di Indonesia yang punya kapasitas untuk berinteraksi dengan dunia investasi secara sophisticated. Dari sekian banyaknya perusahaan, yang membuka akses pendanaan itu tidak banyak,” jelas Angga menyayangkan.
Kemudian berkaitan dengan talenta, Angga menyebutkan bahwa masih banyak pihak yang merasa bahwa talent hanya sebagai seorang pekerja.
“Talent itu adalah investasi. Manusia itu aset utama di industri ini, baik yang bekerja in house maupun lepas, merekalah yang menciptakan IP menjadi sebuah produk,” lanjutnya lagi.
Reza juga menambahkan bagaimana Indonesia membutuhkan lebih banyak etalase film untuk memperluas akses distribusi film ke masyarakat.
“Selain accessibility ke funding, etalase film agar tiap tingkat kecamatan memiliki bioskop juga perlu. Jadi masyarakat bisa menonton film dengan kisaran harga tertentu. Saya rasa ini penting sekali kalau membicarakan infrastruktur,” tambah aktor yang membintangi Gaspar di film “24 Jam Bersama Gaspar” itu.
Reza melanjutkan, “Perkembangan layar di Indonesia itu cukup signifikan, tapi kalau melihat luas wilayah kita, masih bisa tumbuh jauh lebih dari sekarang. Jadi memang sustainability itu harus datang dari industri film itu sendiri.”
Lantas, untuk mengoptimalkan potensi industri film Indonesia, keduanya setuju dengan sutradara “Ali Topan” Sidharta Tata yang mengatakan bahwa peningkatan kualitas film harus menjadi prioritas utama saat ini.
“Yang paling rumit dalam membuat sinema itu dengan mempertahankan kualitas. Kadang tidak semua filmmaker bisa menjadi kualitas. Ini adalah tuntutan yang menjadi beban terbesar. Kita harus bisa melakukan upgrade pada kualitas perfilman kita dan tidak mengulangi yang itu-itu saja,” ungkap Tata.