Memahami obsesi supernatural masyarakat Indonesia - Bagian 1
Read in English
Beberapa waktu yang lalu, diumumkan bahwa ‘Perempuan Tanah Jahanam’ garapan sutradara Joko Anwar telah resmi dinominasikan sebagai wakil Indonesia untuk kategori ‘Film Berbahasa Asing Terbaik’ dalam ajang Oscar 2021. Sejak dirilis pada Oktober 2019, film tersebut telah medapatkan berbagai pujian dan penghargaan, termasuk memenangkan penghargaan Melies International Festival Federation (MIFF) untuk Film Asia Terbaik di Buncheon International Film Festival (BIFAN).
Tentunya ini merupakan suatu pencapaian yang luar biasa, karena belum ada film horor Indonesia yang mampu mendapatkan sambutan yang begitu positif di kancah internasional sebelumnya. Sebelumnya, film laga ‘The Raid’ adalah film Indonesia yang paling banyak dikenal dan diapresiasi pasar internasional.
Walau demikian, genre horor selalu menjadi anak emas di industri film Indonesia dalam hal popularitas. Film horor sangat menjual dan konten menyeramkan selalu menarik. Masyarakat Indonesia seolah tidak pernah bosan menikmati genre ini. Gebrakan terbesar dalam sejarah film horor Indonesia terjadi pada tahun 1971 ketika Suzzanna membintangi film ‘Beranak dalam Kubur.’
Genre ini ‘bangun’ dari mati surinya dan memasuki masa keemasan di era 1981–1991 di mana terdapat 84 film horor yang diproduksi dan dirilis, dan banyak dari film tersebut mengusung nama Suzzanna sebagai pemeran utama. Penggalan karya Suzzanna yang paling ikonik dapat dilihat dalam adegan memesan sate di film ‘Sundelbolong’ (1981) yang kini makin populer dalam bentuk meme – atau dikenal sebagai indikasi popularitas saat ini.
Pada tahun 2019, sebuah utas Twitter berjudul ‘KKN di Desa Penari’ yang ditulis seorang pengguna bernama ‘SimpleMan’ atau @SimpleM81378523 mendadak viral. Kisah yang itu disebut terinspirasi dari kisah nyata dengan sedikit penyesuaian untuk melindungi identitas tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Cerita tersebut mengikuti perjalanan sekelompok mahasiswa yang sedang menjalani program kuliah kerja nyata (KKN) di sebuah desa di pulau Jawa dan terlibat dalam serangkaian perkara gaib.
Cerita yang disampaikan dalam kombinasi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa tersebut terbilang seru, membuat penasaran, dan terasa relevan dengan kehidupan anak muda di Indonesia, karena mengangkat tema perkuliahan, persahabatan, dan cinta anak muda. Utas ini menjadi begitu populer sampai-sampai dalam hitungan bulan sudah diumumkan bahwa buku dan film dari cerita tersebut akan segera diproduksi dan dirilis.
Sementara itu, warganet mulai penasaran akan lokasi desa Penari yang sebenarnya serta orang-orang asli yang terlibat dalam cerita ini. Dengan berbekal petunjuk yang disebut SimpleMan dalam ceritanya, masyarakat, penggiat konten, bahkan media massa memulai investigasi mereka untuk menemukan lokasi desa tersebut, dan berbagai teori pun mulai ramai beredar di internet. Sempat pula beredar sebuah foto seorang pemuda yang diduga adalah Bima dari cerita SimpleMan; pada akhirnya rumor tersebut dikonfirmasi sebagai hoaks.
Yang jelas, mengikuti ekspedisi untuk menginvestigasi berbagai legenda urban bukanlah hal baru yang lahir karena kehebohan cerita ‘KKN di Desa Penari.’ Bagi sebagian orang, hal ini merupakan hobi. Ada banyak komunitas di berbagai daerah di Indonesia yang gemar dan fokus berburu foto hantu atau menginvestigasi tempat-tempat angker di kota-kota. Kegiatan ini kemudian berkembang dan membentuk sebuah sub-sektor pariwisata sendiri, yang lebih dikenal sebagai wisata mistis.
Ada berbagai macam wisata mistis. Salah satu contohnya adalah tur keliling kota mengunjungi berbagai titik angker dengan didampingi pemandu kegiatan dan pemandu spiritual. Contoh lain adalah rumah antik milik pemerintah di Bandung, Jawa Barat, yang digunakan sebagai set film ‘Pengabdi Setan’ (2017) garapan Joko Anwar.
Rumah itu awalnya merupakan rumah dinas karyawan PT Perkebunan Nusantara VIII, namun kemudian bertransformasi menjadi objek wisata setelah film tersebut dirilis. Saat ini, objek wisata tersebut dikelola oleh karyawan PT Nusantara VIII dan buka 24 jam (sebelum pandemi) untuk para turis mistis dan masyarakat yang penasaran untuk melakukan uji nyali.
Namun, kadang objek wisata mistis bahkan tidak pernah mengiklankan diri sebagai tempat angker atau mistis. Beberapa tempat memang sudah dikenal sebagai lokasi mistis karena sebuah fitur di areanya. Misalnya, kamar 308 di Grand Inna Samudera Beach Hotel di Pelabuhan Ratu atau Hotel Tugu Malang dan lukisan Oei Hui Lan yang terkenal.
Mengapa kita begitu tertarik dengan segala hal yang berbau supernatural? Apakah murni disebabkan oleh rasa penasaran atau kita diam-diam memang suka ditakut-takuti? Pasalnya, kadang spot wisata ‘mistis’ adalah bisnis ‘rumah hantu’ yang populer di berbagai pekan raya, seperti Pekan Raya Jakarta.
Ada beberapa penjelasan ilmiah yang menjabarkan mengapa kita suka dibuat takut. Sebuah riset oleh Clasen, Kjeldgaard-Christiansen, dan Johnson (2020) mendapati bahwa walaupun media yang menyeramkan awalnya memberikan efek yang tidak menyenangkan, orang yang meraih skor tinggi dalam kategori ‘pencarian sensasi’ dan ‘intelek/imajinasi,’ utamanya, menyukai stimulasi dan tantangan intelektual dan mengharapkan tidak hanya emosi negatif, tetapi juga emosi positif dari konsumsi horor.
Mereka memberanikan diri untuk menghadapi efek tidak menyenangkan di awal untuk mensimulasi ancaman dan kemudian mendapatkan pengaruh balik yang positif di mana mereka menjadi lihai beradaptasi dengan mengatasi simulasi ancaman virtual.
TFR mewawancarai beberapa penggemar konten horor untuk mempelajari mengapa mereka menikmati konten menyeramkan; jawabannya bervariasi, mulai dari untuk mengatasi stres hingga karena penasaran dengan konsep akhirat dan ingin mengetahui lebih jauh. Menariknya, banyak dari mereka yang mengaku bahwa mereka terus mengonsumsi konten horor walau merasa ketakutan. Vira, salah satu responden, menyebut bahwa pada saat sedang senang-senangnya dengan konten horor, dirinya bisa menyewa sepuluh DVD horor untuk dihabiskan hanya dalam satu minggu.
Fenomena ini merupakan sesuatu yang tak lekang oleh waktu. Masyarakat Indonesia selalu memiliki hubungan khusus dengan dunia supernatural, dan di saat kita bergerak menuju gaya hidup digital, mulai tampak pula bahwa dunia supernatural dan dunia digital berpadu. Selain menjadi wadah untuk menyediakan konten horor, mulai bermunculan kesempatan bisnis lain yang dapat memadukan teknologi digital dengan dunia supernatural, di antaranya yang dilakukan oleh Warunggaib.
Warunggaib adalah e-marketplace pertama dan satu-satunya di Indonesia yang menghubungkan penjual, pembeli, kolektor, dan penggemar barang antik dan jasa spiritual. Menurut Anggara Gita atau Angga, representatif relasi publik Warunggaib, wadah yang diluncurkan pada Oktober 2020 ini dikembangkan karena para pendirinya melihat celah antara permintaan dan penawaran dalam hal marketplace untuk komoditas spiritual atau gaib.
Mereka melihat bahwa: 1. Banyak sekali penggemar dan kolektor barang antik, barang berharga, dan pusaka di Indonesia 2. Komunitas-komunitas kolektor, indigo, dan spiritual membutuhkan sebuah wadah transaksi yang aman dan dapat dipercaya.
Pengguna dapat mengunduh aplikasi atau mengunjungi situs Warunggaib untuk mencari jasa dan pelayanan dari berbagai kategori, termasuk penyembuhan non-medis, buka aura, pemburu hantu, serta marketplace barang antik. “Kami ingin menjaga kearifan lokal Indonesia, dan barang antik serta jasa spiritual yang tersedia di Warunggaib merupakan produk dari kearifan lokal tersebut,” tambah Angga.
Yang pasti, hal-hal mistis dan kepercayaan spiritual telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia dan ini tidak akan berubah; tidak akan lekang oleh waktu; justru akan terus bertransformasi untuk menyesuaikan diri dengan jaman. Sifatnya yang adaptif membuat fenomena ini akan terus relevan hingga ke generasi-generasi setelah kita.
Pada bagian kedua dari serial ini, kami akan membahas lebih dalam hubungan yang dimiliki masyarakat Indonesia dengan hal-hal supernatural, bagaimana semua bermula, efeknya ke kehidupan kita, dan hal-hal apa yang perlu kita pahami.