Bias ekstrovert, diskriminasi yang tak terlihat

Read in English

Apakah kalian pernah merasa bahwa masyarakat dan budaya kita, termasuk sekolah dan tempat kerja, dirancang untuk orang-orang yang sangat supel dan menonjol? Orang-orang ini seringkali mudah berteman, lulus wawancara, berbicara di hadapan publik, dan unggul dalam pertemuan. Apalagi, disposisi mereka yang suka berteman membuat mereka dianggap sebagai individu yang lebih pintar yang merupakan pemimpin dan komunikator yang lebih baik.

Terutama di era pemasaran diri yang didukung oleh media sosial, profesi yang paling ‘keren’ juga sepertinya lebih memilih sifat-sifat seperti ini, seperti pengusaha dan pembuat konten. 

Mungkin karena, baik kita sadari atau tidak, masyarakat kita memang lebih memilih sifat-sifat yang lebih suka berteman, percaya diri, dan mudah bergaul. Sifat-sifat ini seringkali dimengerti sebagai sifat ekstrovert. Ekstrovert dan introvert adalah istilah yang sering digunakan, namun mari kita luruskan definisinya sebelum melanjutkan.

Menurut Freyd (1924), seorang introvert adalah individu yang di dalam dirinya terdapat proses berpikir yang berlebihan dalam kaitannya dengan perilaku sosial yang dapat diamati secara langsung, dengan kecenderungan yang menyertainya untuk menarik diri dari kontak sosial. Sementara itu, ekstrovert adalah individu yang di dalamnya terdapat pengurangan proses berpikir dalam kaitannya dengan perilaku sosial yang dapat diamati secara langsung, dengan kecenderungan yang menyertainya untuk membuat kontak sosial.

Zafira Shabrina, dosen Psikologi Sosial di Universitas Gajah Mada, menjelaskan bahwa introversi dan ekstroversi adalah istilah yang diperkenalkan oleh Carl Jung sebagai cara untuk menjelaskan kepribadian manusia. “Secara umum, orang-orang yang lebih cenderung introvert mengorientasikan diri mereka dalam pikiran dan perasaan mereka sendiri dibandingkan dunia luar.” Dengan kata lain, orang yang cenderung lebih introvert lebih bahagia dengan lebih sedikit stimulasi eksternal, sementara ekstrovert akan berfungsi secara optimal dengan lebih banyak stimulasi eksternal.

“Jika Anda sadari, saya sering menggunakan kata ‘cenderung,’ karena introversi-ekstroversi sebenarnya adalah kontinum. Beberapa menganggap dua sifat ini sebagai kategori, tapi sebenarnya bukan. Dalam diri setiap orang ada tingkat ekstroversi-introversi, tapi yang mendominasi seringkali yang mudah diamati,” tambahnya. Jika keduanya seimbang? Nah, kita punya apa yang dikenal sebagai ambivert. Dan ekstroversi-introversi bukanlah hal yang konstan. Zafira menjelaskan bahwa ada beberapa penemuan penelitian (yaitu McCrae dkk, 2005; Terracciano dkk., 2005; Whitman, 1929) yang menyatakan bahwa seiring bertambahnya usia seseorang, tingkat ekstroversi mereka cenderung menurun.

Maka dari itu, kembali ke diskusi awal kita, bias ekstrovert terjadi ketika masyarakat kita lebih memilih orang-orang dengan kepribadian ekstrovert. Kita seringkali mendengar mengenai hak istimewa belakangan ini; hak istimewa yang berhubungan dengan ras, bentuk tubuh, kelas sosial, dan lainnya. Namun, kita tidak pernah mendengar istilah ‘cek hak istimewa ekstrovert Anda’ dilontarkan, bukan?

Menurut Kamus Cambridge, hak istimewa adalah ‘keuntungan yang hanya dimiliki oleh satu orang atau satu kelompok.’ Seperti yang lainnya, orang-orang yang memiliki hak istimewa seringkali tidak menyadari besarnya hak istimewa yang mereka miliki karena mereka tidak pernah mengalami bagaimana rasanya tidak memiliki apa yang selalu mereka miliki. Posisi hak istimewa seringkali tidak dihargai atau dicerminkan seperti yang seharusnya. Dalam hal hak istimewa ekstrovert, tidak banyak orang yang menyadarinya, tapi hal itu bisa dilihat dengan jelas dalam masyarakat yang kita tinggali ini.

Hak istimewa ini melampaui ras, jenis kelamin, usia, dan status sosio-ekonomi. Mari kita ambil contoh tempat kerja. Ada praktik-praktik di tempat kerja yang mendukung mereka yang ekstrovert dan mempermudah mereka untuk maju dibandingkan kolega mereka yang introvert. Pertemuan dan wawancara, contohnya, membutuhkan banyak bicara dan tanggapan instan. Introvert biasanya suka berpikir dan berefleksi sebelum berbicara, sedangkan ekstrovert biasanya memproses pikiran mereka sambil berbicara. Dengan demikian, aktivitas-aktivitas ini secara alami lebih nyaman bagi ekstrovert, sehingga menempatkan ekstrovert dalam posisi yang lebih unggul.

Bagi introvert, seringkali ada tuntutan untuk mengadopsi cara hidup seperti itu. Pikiran dan refleksi yang dilakukan introvert dalam wawancara bisa disalahartikan sebagai kurang berpengetahuan atau kurang percaya diri. Introvert seringkali diharuskan untuk beradaptasi pada metode atau cara yang tidak datang secara alami atau terasa tidak nyaman bagi mereka. Ini juga merupakan contoh hak istimewa ekstrovert.

Kadang kala, kuncinya adalah mencari pekerjaan yang sesuai dengan kepribadian kita. Introvert bisa jadi lebih unggul dalam pekerjaan yang menawarkan kebebasan untuk bekerja sendiri dibandingkan dalam kelompok, seperti editor, desainer grafis, manajer konten, koki eksekutif, dan insinyur perangkat lunak.

Menariknya, beberapa pekerjaan yang biasanya dibingkai sebagai ‘pekerjaan ekstrovert’ mungkin cocok untuk introvert. Politisi, contohnya, lebih introvert dibanding yang orang kira, meskipun umumnya membutuhkan disposisi yang karismatik dan mudah bergaul. Dalam politik, langkah terbaik adalah tidak menunjukkan semua kartu kita terlalu cepat, dan introvert lebih rela untuk mundur dan mendengarkan serta menghabiskan waktu ekstra untuk menemukan solusi.

Pandangan menarik mengenai mengapa masyarakat secara umum tampaknya lebih memilih sifat ekstrovert mungkin berakar pada bias lama kita terhadap budaya Anglo-Amerika - kebudayaan yang sangat menghargai sifat ekstrovert - mayoritas studi yang dilakukan mengenai subjek ini berlokasi di Amerika Serikat.

Sudah pasti terdapat pengaruh sosial-budaya yang menentukan nilai yang diberikan masyarakat kepada sifat ekstrovert dan introvert. Amerika Serikat, misalnya, adalah negara yang sangat menghargai sifat ekstrovert. Hal ini dapat ditelusuri baru-baru ini ke Revolusi Industri, yang menciptakan pergeseran cepat dari komunitas perdesaan di mana orang-orang mengenal hampir semua orang yang mereka temui, ke masyarakat perkotaan di mana meninggalkan kesan bagi orang asing menjadi hal yang penting untuk bertahan hidup. The American Dream, demikian mereka menyebutnya, dapat dicapai melalui kesan pertama, kecerdasan, pesona, dan kemampuan berbicara di depan umum dan meyakinkan orang banyak. (Fudjack, 2013).

Sebaliknya, di negara-negara seperti Finlandia dan India, sifat introvert mengalahkan sifat ekstrovert. Di Finlandia, tenang, pendiam, dan introvert dianggap sebagai sifat kepribadian yang sangat positif dan terhormat. Sementara, masyarakat India menghargai pemikiran reflektif yang mendalam, perhatian, meditasi, dan praktik yang membutuhkan pemikiran introspektif. Nilai introversi yang dimiliki India tak lekang oleh waktu dan tetap menjadi bahan utama hingga saat ini (Fudjack, 2013).

Dalam ranah budaya pop, karakter introvert dan ekstrovert seringkali disandingkan untuk menonjolkan kontras di antara keduanya. Contoh yang paling populer adalah Thor dan Loki dari Marvel Cinematic Universe, kakak-beradik yang sangat berbeda dan kehidupan mereka yang saling terkait selamanya. Thor adalah pahlawan karismatik dan suka berteman, sedangkan Loki adalah penyendiri yang pendiam, licik, dan anti-pahlawan yang sempurna untuk Thor. Ada pula Glinda dan Elphaba dari musikal Broadway 'Wicked,' yang mewujudkan sifat ekstrovert dan introvert dengan sempurna.

Dalam banyak konten populer ini, introvert seringkali adalah penjahat (Loki) atau mereka yang disalahpahami (Elphaba). Cukup menarik, karena ada banyak introvert di antara kita. Tergantung pada penelitian yang kita temukan, introvert membentuk sepertiga hingga setengah dari total populasi.

Salah satu kesalahpahaman terbesar adalah bahwa introversi sama dengan rasa malu. “Malu adalah tentang ketakutan akan penilaian sosial. Jadi, jika Anda berada dalam sorotan dan semua orang memerhatikan Anda, Anda merasakan kesadaran diri yang sangat tinggi dan menyakitkan,” tutur Susan Cain, penulis buku Quiet: The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking8. “Dan introversi lebih tentang preferensi untuk lingkungan di mana hanya ada sedikit hal yang terjadi. Lebih lembut. Lebih santai. Dan di situlah Anda merasa paling hidup,” jelas Cain lebih lanjut.

Dan gagasan bahwa masyarakat tidak menyukai orang-orang introvert juga ditentang. Beberapa orang terkaya di dunia adalah introvert, seperti Elon Musk, Jeff Bezos, dan Warren Buffet. Meskipun mereka mungkin adalah pengecualian, mereka adalah bukti bahwa orang-orang introvert dapat unggul di dunia yang dibangun untuk orang-orang ekstrovert.

Sementara itu, pada Juni 2021, Marvel Studios merilis serial televisi berjudul "Loki" di Disney+, yang semakin mendorong popularitas karakter ini yang terus meningkat sejak film Avengers yang pertama. Loki adalah karakter introvert yang sangat populer dan disambut dengan hangat oleh penggemar di seluruh dunia; seorang introvert (fiksi) lain yang berhasil masuk ke dunia ekstrovert ini.

Karena itu, mungkin dunia tidak menentang introvert sama sekali. Mereka hanya perlu menemukan jalan mereka sendiri untuk unggul dalam cara yang sedikit lebih rumit. Peran kita sebagai masyarakat adalah membuat dunia menjadi tempat yang lebih ramah bagi semua – ekstrovert, introvert, dan ambivert.


Artikel terkait


Berita