Desainer asal Sulsel ubah kain kafan jadi pakaian seharga jutaan rupiah!

Seorang desainer asal Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan (Sulsel) bernama Yuyun Nailufar menyulap kain kafan menjadi beragam produk fesyen.

Kesan mistis menjadi hilang seketika setelah kain pembungkus mayat tersebut dipadukan dengan jenis kain lain serta sematan payet yang indah dan disulap menjadi pakaian.

Beberapa produk yang telah dihasilkannya berbahan kain tope tersebut di antaranya baju bodo, gaun, tas, jaket bomber, hingga produk rumah tangga.

Pemilik Rumah Jahit Mama Ay ini awalnya tertarik berinovasi membuat koleksi pakaian dengan kain kafan usai mendapat rekomendasi dari seorang desainer senior bernama Itja Ahmad pada 2016 silam.

Awalnya Yuyun sempat tak yakin dengan saran itu, tetapi ia langsung mantap untuk mencoba setelah melihat langsung kain kafan asal Jeneponto dari dekat saat datang melayat saudara pegawainya.

“Saat itu saya melihat langsung kainnya dari dekat dan ternyata memang bagus. Itu saya pertama kali lihat kainnya di tahun 2016. Saya pikir sayang kalau kain ini hanya dipakai untuk bungkus mayat,” ujar Yuyun saat dihubungi TFR beberapa waktu lalu.

Sebagai seorang pendatang, Yuyun mengaku membutuhkan waktu untuk mengenali karakteristik kain kafan asal Jeneponto, yang ternyata berbeda dengan kain kafan pada umumnya.

Baca juga: Desainer Monica Ivena gandeng metahuman influencer AYAYI dalam pagelaran busananya

Punya ciri khas kain berongga dan beda dari yang lain

Beda dari kebanyakan kain kafan asal daerah lain, kain kafan yang ditemukan di daerah Jeneponto memiliki serat kapas yang menjadi daya tarik dan nilai jualnya. 

Bisa begitu karena, jenis kain yang juga dikenal dengan sebutan kain tope itu dibuat dengan cara ditenun dan bahannya adalah kapas asli.

“Dia juga adem karena dia lubang-lubang, nggak rapat, tapi juga lembut. Tapi kalau belum kena detergen dia akan kaku, kalau sudah agak lama nanti dia akan menjadi lemas. Teksturnya juga bagus,” terang Yuyun.

Oleh karena itulah Yuyun hanya menggunakan kain kafan yang ditenun secara tradisional oleh para perajin lokal di sekitarnya. Bahkan, Yuyun sampai membeli kain yang disimpan oleh warga.

Selain bisa memberdayakan sekitar, kain kafan tersebut hanya akan menghasilkan hasil akhir yang bagus jika dibuat menggunakan benang yang berasal dari kapas asli, bukan sintetis.

“Jadi walaupun menggunakan kain kafan, saya nggak langsung bikin baju. Saya harus tahu sifat asli kainnya kayak gimana,” pungkasnya.

Dulu ditolak, kini berhasil menarik perhatian konsumen mancanegara

Yuyun bercerita, perjalanannya mengenalkan produk fesyen yang terbuat dari bahan kain kafan tidaklah mudah. Pasalnya, ia sempat mengalami banyak penolakan.

Kendati mendapat dukungan penuh dari desainer senior yang membawa koleksi inovatifnya tampil di panggung untuk pertama kali, namun ia pernah diremehkan oleh pemerintah daerah setempat.

“Dia (Itja Ahmad) menyarankan dan membantu saya membuat proposal untuk disampaikan ke dinas daerah (untuk memperkenalkan baju dari kain tope),” cerita Yuyun.

Yuyun juga mengungkap, “Tapi, pas pengajuan ke bupati, saya ditolak mentah-mentah. Saya juga sempat dibilang gila karena memilih kain kafan buat bahan pakaiannya.”

Ia kemudian melanjutkan, “Orang daerah kalau tahu bahan pakaian saya, mereka bilang, ‘Pembungkus mayat untuk apa dibuat baju? Itu untuk orang dikubur.’ Padahal kalau sudah jadi baju nggak seram lagi.”

Namun Yuyun tak kenal kata menyerah, ia terus giat mengikuti berbagai pameran fesyen yang digelar di Makassar, Sulsel untuk mengenalkan produk buatannya. 

Meskipun, di awal produknya tidak dilirik dan beberapa kali gagal terjual. Yuyun juga pernah ikut pameran, tetapi baju bodo yang dijualnya sama sekali tidak laku. 

“Selama pameran benar-benar nggak laku, padahal itu saya jual murah dan bahan original. Tapi orang-orang sama sekali nggak lirik,” kata Yuyun.

Sementara konsumen lokal merasa takut dengan kain kafan yang dijadikan bahan pakaiannya, produk Yuyun justru berhasil ludes diborong oleh pecinta fesyen mancanegara.

“Model-model asal Swedia juga memuji dan borong baju saya. Ada juga dari Malaysia, Norwegia. Ternyata di mata orang luar, produk saya ternyata bagus,” ujarnya sambil tertawa.

“Di mata orang Jeneponto, mereka justru takut. Karena orang Jeneponto tiap rumah itu harus punya kain kafan. Makanya orang sana kalau mendengar dan membicarakan kain tope itu takut sekali,” lanjutnya.

Inovasi kain kafannya saat ini justru banyak ditiru

Saat ini, produk fesyen dari kain kafan buatan Yuyun mulai banyak ditiru oleh desainer lain. 

Akan tetapi, jika kebanyakan desainer tersebut menggunakan kain kafan berbahan sintetis, ia masih tetap mengutamakan orisinalitas produknya dengan bahan alami.

“Sekarang saya lihat, sudah banyak yang meniru, tapi mereka nggak peduli apakah kain itu benang asli atau sintetis, yang penting kain tope. Padahal kalau yang paham, pasti tahu perbedaannya. Saya pun banyak sekarang yang menawari kain tope, tapi yang saya mau yang ditenun asli,” ungkap Yuyun.

Ia menambahkan, “Satu komunitas saya sendiri bahkan banyak yang berburu tope. Dulu saya fashion show pakai kain tope, mereka nggak ada yang lirik, sekarang malah mereka meniru, tapi dengan ecoprint, kalau saya tetap yang originalnya (tenunan).”

Di samping itu semua, Yuyun telah memprediksi hal tersebut dan gerak cepat dengan mendaftarkan produk kain kafan miliknya sebagai hak kekayaan intelektual (HAKI).

Yuyun mengatakan, ia mendapatkan dukungan dari sang suami untuk mendaftarkan inovasinya karena yakin suatu saat nanti inovasinya akan terkenal.

“Kita juga promo terus-terusan dan bikin jejak digital. Baru sekarang sudah booming, banyak yang mengaku dan klaim duluan bikin pakaian dari kain tope,” tuturnya.

Kini, karena sudah mulai dikenal dan dihargai, Yuyun lebih selektif dalam mengikuti pameran fesyen. Produknya pun dibanderol dengan harga yang tak murah, yakni mulai Rp2 juta.