Kenali 3 karya seni rupa modern Indonesia dan kisah menarik di baliknya!

Seni rupa modern Indonesia berkembang sejak era kolonial di abad ke-19 dan memuncak di masa menuju kemerdekaan nasional pada 1945. Selama perkembangannya itu, sederet nama pemikir dan seniman modern tanah air mewarnai era penting seni rupa tersebut dengan corak berkarya yang unik satu sama lain. 

Dalam laporan TFR sebelumnya, kita telah membedah contoh aliran seni rupa modern Indonesia yang berkembang selama ini. Mulai dari romantisisme, naturalisme, realisme, abstrak meditatif, hingga surealisme. 

Kali ini, kita akan menelusuri 3 contoh karya dari S. Sudjojono, FX Harsono, dan Lucia Hartini yang turut menyumbang pengaruh besar bagi perkembangan seni rupa modern Indonesia. Penasaran bagaimana karya dan kisah menarik di baliknya? Simak kisah 3 karya seni rupa modern terpilih di artikel ini!

Baca juga: Aliran seni rupa modern Indonesia, ini 5 contoh dan cerita dibaliknya!

3 contoh karya seni rupa modern Indonesia dan kisahnya

1.  S.Sudjonono, “Kawan-kawan Revolusi” (1947)

S. Sudjojono, merupakan seorang tokoh pelopor seni rupa modern Indonesia sekaligus penggagas kelompok seni PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang memperkenalkan aliran seni rupa realisme ke tanah air. 

Tak lama setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, Sudjojono menggarap lukisan berjudul “Kawan-kawan Revolusi” pada 1947 di tengah kecamuk revolusi fisik. 

Foto: S.Sudjonono, “Kawan-kawan Revolusi” (1947) | IVAA

Menurut laman resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (Setkab RI), lukisan ini dibuat atas tantangan pemikir dan perupa Trisno Sumardjo. Kala itu Trisno menantang Sudjojono untuk membuktikan kecakapan teknisnya dengan menyelesaikan sebuah lukisan dalam waktu satu hari.

Akhirnya, S. Sudjojono menggarap lukisan “Kawan-kawan Revolusi”, yang dituturkan Mia Bustam (istri pertama S. Sudjojono) terinspirasi oleh sikap heroik pejuang bernama Bung Dullah yang berhasil meledakkan 4 tank Belanda dengan peledak yang diikat di pinggangnya. 

Foto: Ir. Soekarno bersama lukisan “Kawan-kawan Revolusi” | Henri Cartier Bresson

Lukisan “Kawan-kawan Revolusi” lantas menangkap wajah Bung Dullah bersama 18 potret tokoh lainnya, yang di antaranya adalah Tedja Bayu, Mayor Sugiri, Basuki Resobowo, Surono,Trisno Sumardjo, Ramli, Suromo, Nindyo, Kasno, Oesman Effendi, Sudibio, dan Kartono Yudhokusumo.

Kisah menarik lainnya adalah, Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno, membeli langsung lukisan tersebut yang hingga kini menjadi koleksi Istana Republik indonesia. Ternyata, Soekarno pertama kali melihat “Kawan-kawan Revolusi” saat dipamerkan dalam pameran Seniman Indonesia Muda (SIM) di Yogyakarta pada 25 Mei 1947.

Soekarno pun meminta untuk membelinya dengan menyicil, yang akhirnya lunas dua tahun kemudian, tepatnya pada 1949 di tengah Agresi Militer II di Yogyakarta. 

Baca juga: Seni rupa modern Indonesia, simak 5 fakta penting dan kisah di baliknya!

2. FX Harsono, “Paling Top” (1975)

FX Harsono, merupakan salah satu perupa senior yang masih aktif berkarya dengan membawa isu sosial paling relevan di Indonesia hingga hari ini. Perupa satu ini mulai berkarya dengan medium seni grafis dengan menempuh pendidikan seni di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI/ISI) mulai dari 1969 hingga 1974. 

Melansir Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Harsono mulai aktif berkarya di pertengahan 1970-an, terutama ketika Ia menjadi salah satu penggagas gerakan seniman yang melawan institusionalisasi seni oleh pemerintah di tahun 1974, lewat gerakan Desember Hitam. 

FX Harsono juga menjadi inisiator Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang mendobrak estetika seni rupa kala itu, dengan memperkenalkan pendekatan anti-estetis dan melawan konvensi, lewat karya instalasi dan seni performans.

Foto: FX Harsono, “Paling Top” (1975) | National Gallery Singapore

Salah satu di antara karya 3 dimensi yang diproduksi Harsono kala itu adalah “Paling Top” (1975) yang kemudian dibuat ulang pada 2006 dan telah menjadi koleksi dari National Gallery Singapore. 

Karya “Paling Top” menampilkan senjata plastik dengan gagasan perlawanan terhadap kondisi sosial politik pada masa tersebut. Senjata, bingkai kayu, dan jala menjadi simbol atas kekuasaan militer yang merajalela di tanah air kala itu di bawah rezim Orde Baru Soeharto.

Lebih lanjut, melansir designboom, seni di masa itu sengaja didepolitisasi oleh pemerintah. Alhasil, bentuk kritik keras dari karya-karya seni terancam, termasuk karya Harsono yang satu ini. Karya ini pun menyuarakan keyakinan bahwa seni perlu terlibat secara aktif dalam perjuangan masyarakat dan politik.

Baca Juga: Aliran seni rupa modern, berikut 5 contoh dan senimannya!

3. Lucia Hartini, “Keterbatasan” (1984)

Selanjutnya, kita akan menelusuri karya dari perupa asal Yogyakarta bernama Lucia Hartini, yakni lukisan berjudul “Keterbatasan” yang dibuat pada 1984 silam. Dalam lukisan ini, mengutip dari Galeri Nasional Indonesia, Lucia menguak fenomena visual tentang alam yang ganjil lewat kecenderungan gaya surealisme. 

Terlihat adanya rincian pusaran air pada laut, serta gelombang tumpahan air pada batu-batu karang yang dibuat Lucia dengan kecakapan teknis hingga tercapai detil seperti yang nampak dalam lukisan. Serta adanya gugusan awan hitam yang rendah di cakrawala, dibuat semakin dramatis dengan sentuhan warna jingga.

Foto: Lucia Hartini, “Keterbatasan” (1984) | Galeri Nasional Indonesia

Dalam lukisan Lucia yang dibuat pada pertengahan 1980-an ini, pusaran air dimaknai sebagai masalah-masalah psikologis yang sudah berkecamuk, hingga akhirnya meluap lantaran telah lewat dari kapasitas dan kekuatan personalnya. Tapi, hal itu juga relevan bagi keadaaan universal, yang kerap dirasakan oleh tiap individu lainnya, yakni ketika masalah besar kerap terepresi dalam alam bawah sadar manusia. 

Bergaya surealis, lukisan-lukisan Lucia memang kerap melakukan pendekatan yang dikenal sebagai juxtaposition. Istilah itu mengartikan penempatan bentuk-bentuk yang memiliki makna atau fungsi yang bertolak belakang, sehingga muncul rasa ganjil dan tidak sesuai dengan realita, serta logika ruang dan waktu. “Fenomena visual seperti itu memberikan rasa absurd pada dunia yang dihadirkan,” tulis Galeri Nasional Indonesia.

Pendekatan aliran surealis ternyata memang banyak dikembangkan pelukis Yogyakarta selama era 1980-an. Mereka memproduksi karya yang mengandung semacam “irono kehidupan personal maupun sosial” lewat simbol-simbol personal, maupun dari kepercayaan budaya tradisi Jawa dan lainnya.