Meski PSE Kominfo diprotes lebih dari 4.000 orang, WhatsApp hingga Netflix sudah daftar
Hari ini (20/7) ialah batas terakhir pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat ke dalam jaringan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia.
Lantas, hingga berita ini ditulis, sejumlah PSE asing yang jadi bagian keseharian masyarakat tapi sempat terancam diblokir mulai mendaftarkan dirinya, sebut saja Meta Group (WhatsApp, Instagram, Facebook), lalu TikTok, dan Netflix pun telah meregistrasi perusahaannya ke dalam pendataan Pemerintah RI.
Namun, menanggapi kebijakan yang bakal memblokir PSE domestik maupun asing bila tidak terdaftar, sejumlah masyarakat Indonesia pun menyuarakan penolakannya atas kebijakan PSE Kominfo ini.
Surat protes yang diinisiasi oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), organisasi advokasi hak-hak dalam lingkup digital, telah ditandatangani lebih dari 4.000 orang setelah diluncurkan Minggu (17/7). Namun, sebenarnya, apa saja sih yang dikhawatirkan dari keputusan Kominfo ini?
Mengapa sejumlah PSE belum mendaftarkan dirinya? Lalu, bagaimana aturan ini dapat memengaruhi kita yang kebanyakan menggunakan sosial media dan layanan digital lainnya untuk berjejaring?
Sejak akhir Juli lalu (24/6), SAFEnet mempublikasikan siaran yang bertajuk "Stop Registrasi PSE Lingkup Privat dan Tarik Kembali Permenkominfo yang Mengancam Kebebasan Berekspresi dan Hak Atas Privasi Pengguna". Dalam rilis di laman SAFEnet itu, dijelaskan sederet kekhawatiran terhadap Permenkominfo No.10 tahun 2021 terkait perubahan atas Permenkominfo No.5 tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat.
Tertera tiga poin utama yang disoroti dalam pasal yang ke depannya dapat dilakukan pemerintah kepada PSE, yaitu; penerapan tata kelola dan moderasi informasi dan/atau dokumen elektronik; permohonan untuk pemutusan akses; terakhir, permohonan akses data, informasi, dan/atau percakapan pribadi.
Direktur Aptika Kominfo Samuel Abrijani Pangerapan turut angkat bicara tentang suara protes masyarakat dengan menyatakan, "Ya, boleh saja itu demokrasi. Ini, kan, prosesnya udah panjang. Ini, kan, Undang-undangnya, UU ITE, kita tidak keluar dari itu," dalam konferensi pers Kominfo (19/7).
Di sisi lain, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Nenden Sekar Arum mengungkapkan kepada TFR akan kekhawatirannya. Menurutnya, hal yang ditakutkan dari peraturan Kominfo ini adalah kemungkinannya untuk mempersempit ruang ekspresi dan hak asasi privasi pengguna.
"Pas konferensi pers mereka bilang bahwa yang akan rugi adalah platform digital karena mereka akan kehilangan pangsa pasar di Indonesia. Padahal, di sisi lain, yang akan mendapatkan dampaknya adalah penggunanya itu sendiri sebenarnya," jelas Nenden melalui sambungan telepon, Selasa (19/7).
Tidak hanya itu, Nenden menjelaskan bahwa sejumlah PSE asing seperti Instagram, Facebook, hingga WhatsApp ialah penunjang kerja bahkan bisnis masyarakat. Alhasil, ketika pemutusan akses benar-benar terjadi, pastinya akan berpengaruh bagi perekonomian individu bahkan lebih luas lagi, nasional.
Selain itu, jika ada pemutusan akses pada platform yang jadi wadah aspirasi dan percakapan masyarakat terkait isu-isu signifikan, ini ialah sebuah tindakan yang diklaim sebagai bentuk pembatasan informasi.
Nenden memberikan salah satu contoh platform yang telah diblokir sebelumnya, yakni Reddit. Wadah berjejaring Reddit menjadi salah satu sumber terangkatnya isu-isu keseharian maupun signifikan dan menjadi tempat diskusi. Namun, dengan diblokirnya Reddit dari Indonesia, kemungkinan untuk memperkaya informasi dan ilmu dari antar masyarakat di luar pemberitaan media pun menjadi tertutup.
Pasalnya, PSE yang menjadi bagian dari keseharian kebanyakan masyarakat digital hari ini, tidak hanya berpengaruh pada kemampuan berjejaring dalam skala personal. Tidak hanya itu, ruang-ruang digital tersebut menjadi wadah bagi masyarakat untuk merawat dan menjaga hak demokratisnya.
"Lebih jauh lagi hal ini bisa berdampak pada demokrasi kita. Karena Permenkominfo, blokir memblokir, apalagi take down konten, ini berpengaruh bagaimana selama ini banyak masyarakat yang menyuarakan aspirasinya, ekspresinya, dan suaranya melalui berbagai macam platform digital," jelas Nenden.
Masih dalam rilis sama, kekhawatiran lain terletak pada Pasal 36 Permenkominfo No. 5/2020 yang memberi aparat kewenangan untuk menegakan hukum terhadap konten komunikasi dan data pribadi.
Terkait hal tersebut, Nenden menjelaskan bahwa data personal tersebut dinyatakan mencakup dua jenis data; data pribadi dan data pribadi spesifik. Melalui peraturan tersebut, data pribadi seperti informasi general tentang seseorang dapat diminta aparat kepada PSE tanpa surat pengadilan. Sedangkan, data pribadi spesifik yang bahkan mencakup isu-isu sensitif, seperti orientasi seksual seseorang yang seharusnya dilindungi platform digital, juga dapat diminta aparat dengan menggunakan surat pengadilan.
Meski, menurut penjelasan Kominfo, kebijakan ini hadir untuk menegakkan keadilan, demi mengusut sebuah kasus. Nenden mengatakan, pasal tidak menjelaskan bagaimana pemerintah kemudian akan menjamin penjagaan dan perlindungan data pribadi pengguna. Terlebih, hal yang ditakutkan adalah adanya diskriminasi bagi kelompok minoritas bila data pribadi spesifik masyarakat dapat diakses.
Rupanya, Permenkominfo ini adalah turunan dari UU ITE yang tengah berjalan hingga hari ini. Nenden pun mengutarakan kewaspadaan terhadap poin moderasi konten yang ada di dalamnya, yang mungkin untuk menutup dan menurunkan konten berisi ekspresi dan aspirasi rakyat terhadap pemerintah. Salah satu contoh yang disebutkan adalah ketika sejumlah aktivis dan pegiat hak-hak warga Wadas atas penggusuran lahan yang terjadi beberapa waktu silam, tiba-tiba hilang dari percakapan di sosial media.
"Kita mungkin akan kembali ke masa di mana media dibatasi. Mungkin banget kita akan sampai ke situ," tambah Nenden. Tidak hanya itu, Nenden pun mengenalkan salah satu istilah yang kerap digunakan oleh SAFEnet, yakni digital authoritarian, yang mungkin akan kita hadapi suatu hari nanti.
Terkait PSE yang belum mendaftarkan perusahaannya, berdasarkan pengamatan SAFEnet, hal ini diduga karena ada pasal-pasal yang dapat menyalahi kebijakan perlindungan keamanan privasi pengguna dalam platform tersebut. Selain itu, sejumlah PSE juga menyebutkan bahwa proses pendaftaran yang cukup sulit diakses.
Di sisi lain, melalui konferensi pers Kominfo tentang PSE lingkup privat pada Selasa (19/7), Direktur Aptika Kominfo Samuel Abrijani Pangerapan menjelaskan bahwa setelah 20 Juli ini, PSE domestik maupun asing yang belum mendaftarkan dirinya akan segera diberikan surat peringatan. Nah, selanjutnya, pemblokiran baru dilakukan setelah percakapan antara Kominfo dengan PSE terjadi.