Koalisi Seni: Tiga aspek ini berpotensi hambat kekayaan intelektual jadi jaminan utang
Pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif pada Juli lalu. PP itu memberikan angin segar kepada pelaku ekonomi kreatif karena mengatur produk kekayaan intelektual (KI) sebagai objek jaminan utang ke lembaga keuangan baik dan nonbank.
Meski demikian, Koalisi Seni, lembaga nirlaba yang mengadvokasi kebijakan seni, menilai adanya masalah struktural yang bisa menghambat penerapan PP Ekonomi Kreatif ini. Menurut lembaga ini, setidaknya ada tiga aspek yang berpotensi menghambat karya seni menjadi jaminan utang.
Pertama, sistem kekayaan intelektual yang ada saat ini, belum memadai untuk melindungi hak para pencipta di berbagai sektor, seperti film, musik, penerbitan, seni rupa, dan pertunjukan teater.
“Selama ini seniman masih kerap terkendala tata kelola manajemen hak cipta yang masih bermasalah. Misalnya di sektor film, negara belum mengurus aturan royaltinya. Selama ini, aturan royalti hanya diatur dalam kontrak antara produser dengan pelaku industri,” kata peneliti kebijakan seni dari Koalisi Seni, Aicha Grade Rebecca.
Kedua, Koalisi Seni mengkhawatirkan sistem yang belum mapan dapat mengurangi nominal jaminan utang yang dapat diberikan. Sebab, pasal 12 dari PP tersebut mengatur, salah satu pendekatan yang dipakai dalam pemberian jaminan adalah melalui pendekatan pendapatan.
“Artinya, penilai akan mengkaji potensi komersial dari objek KI, lewat proyeksi pendapatan si calon debitur. Hasil penilaian itu nantinya akan menentukan nominal jaminannya,” kata Aicha.
Ketiga, pelaku ekonomi kreatif yang dapat mengakses kebijakan kekayaan intelektual sebagai jaminan utang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang sudah mengelola hak ciptanya dengan baik. Dengan begitu, akses pelaku ekonomi kreatif dalam memanfaatkan kebijakan ini dinilai terbatas.
Sebab, pasal 10 (B) mencatat salah satu syarat dalam menjaminkan hak cipta sebagai objek jaminan adalah objek itu telah dikelola dengan baik secara mandiri maupun dialihkan haknya kepada pihak lain.
“Artinya, objek yang dapat dijaminkan memiliki rekam jejak finansial yang dikelola baik oleh pemegang hak cipta. Hal itu masuk akal karena pihak lembaga pembiayaan tentunya akan menghindari risiko gagal bayar dari debitur,” kata Aicha.
Lebih lanjut, Aicha mengatakan, “Muncul kesan, syarat itu hanya bisa dipenuhi oleh pelaku ekraf yang sudah mampu mengelola dengan baik hak cipta miliknya.”
Maka dari itu, Koalisi Seni mendorong pemerintah untuk mengevaluasi penerapan perlindungan hak cipta agar para seniman dapat menjaminkan hak cipta sesuai PP Ekonomi Kreatif.
“Tentunya, permodalan berbasis hak cipta hanya akan terwujud dengan optimal jika pelaksanaan manajemen sistem hak cipta kita sudah mengakomodasi kebutuhan para pelaku ekonomi kreatif,” pungkas Wakil Ketua Koalisi Seni Heru Hikayat.