Aris Prabawa gelar pameran seni yang sengaja dipenjara
Seniman asal Yogyakarta yang menetap di Australia, Aris Prabawa, menggelar pameran seni tunggal bertajuk “Daya Bara” dengan konsep ‘penjara’ mulai hari ini, 16 hingga 30 September mendatang.
Judul tersebut dipilih Aris pada pameran tunggal kesembilannya tahun ini karena artinya, yakni kekuatan atau semangat yang membara. Dalam pameran yang digelar di Jogja National Museum, Yogyakarta itu, Aris menampilkan 52 karya drawing dan patung terbarunya yang dibuat pada 2021 dan 2022.
“Pameran ini untuk memberi semangat baru bagi saya dan masyarakat dalam menghadapi bencana alam, seperti banjir akibat dari perubahan iklim,” ujar Aris melalui pernyataan resminya kepada media.
Melalui karya-karyanya, Aris menuangkan kegelisahannya atas kerusakan lingkungan. Konsep ‘penjara’ pun diadaptasi sebagai gambaran terkurungnya suara-suara minoritas seorang Aris Prabawa.
Alasan lainnya ialah karena Aris percaya bahwa isu lingkungan terjadi akibat eksploitasi terus menerus oleh penguasa, yang melupakan dampaknya bagi masyarakat dan alam. Pasalnya, sang seniman merasakan dampaknya secara langsung pada banjir besar yang terjadi di Australia akhir Februari lalu.
Musibah itu setidaknya menelan empat korban jiwa dan ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal. Tidak hanya itu, ratusan karya Aris juga ikut hilang tersapu banjir. Dan, musibah itu pun terjadi di tanah air.
“Di Indonesia, perubahan iklim menyebabkan berbagai bencana alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang tahun 2021 ada 3029 bencana alam. Jumlah ini meningkat dari tahun 2020 yang mencapai 2.925 kejadian,” kata jurnalis Bambang Muryanto dalam pengantar pameran.
Maka itu, berangkat dari kesaksian dan pengalamannya, Aris menciptakan karya-karya seni yang berbicara soal perubahan iklim, bencana, dan berbagai dampak lainnya seperti kegagalan panen, munculnya penyakit baru, dan punahnya spesies binatang tertentu yang mengganggu ekosistem.
Selama beberapa dekade berkarya, Aris selalu menyuarakan kritik sosial, politik dan isu lingkungan. Ia percaya, “Seni adalah medium untuk membangkitkan kesadaran public tentang kondisi lingkungannya.”
Pameran tunggal “seni yang dipenjarakan” dari kolektif asal Yogyakarta yang ikut mendirikan Kolektif Taring Padi pada 1998 silam ini juga dilengkapi dengan pertunjukan musik, screening, dan diskusi.