Shein diselidiki terkait penggunaan pekerja paksa etnis Turki

Dalam sebuah surat kepada Komisi Sekuritas dan Pertukaran (SEC), Senin (1/5), Shein diminta memberi pernyataan bahwa seluruh produknya yang dibuat di Tiongkok tidak menggunakan tenaga kerja paksa.

Melansir CNN Business, permintaan itu datang dari 22 anggota Dewan Perwakilan Amerika Serikat (AS).

Pasalnya, terdapat dugaan bahwa raksasa fast fashion asal Tiongkok tersebut menggunakan tenaga kerja paksa dengan upah di bawah rata-rata dari Uighur.

“Terdapat tuduhan yang kredibel bahwa perusahaan tersebut (Shein) memanfaatkan tenaga kerja paksa dan membayar upah di bawah rata-rata di daerah Otonomi Uighur Xinjiang,” demikian bunyi surat tersebut.

Adapun kelompok bipartisan yang mengirimkan surat kepada SEC dipimpin oleh John Rose dari Tennessee dan Jennifer Wexton dari Virginia, AS.

Untuk diketahui, sebelumnya AS telah melarang seluruh produk impor yang berasal dari wilayah Xinjiang karena kekhawatiran terkait penggunaan tenaga kerja paksa.

Dalam surat tersebut turut diutarakan, para anggota parlemen AS “meminta transparansi dan verifikasi mandiri yang bebas dari pengaruh negara, bahwa Shein tidak menggunakan tenaga kerja paksa Uighur”.

Baca juga: SHEIN diduga eksploitasi pekerja, The Rolling Stones ingin tarik izin lisensi

Tanggapan Shein terkait penggunaan pekerja paksa

Juru bicara Shein mengatakan kepada CNN bahwa perusahaannya tidak memiliki pemasok di wilayah Xinjiang dan tidak memiliki toleransi terkait penggunaan pekerja paksa.

Di lain sisi, SEC yang dituntut para anggota parlemen untuk memberikan transparansi mengenai isu ini, belum memberikan tanggapan apa pun.

Lebih jauh, dalam surat tersebut turut diilustrasikan bagaimana Kongres AS menyelidiki Shein dan saingannya, Temu, di tengah lonjakan popularitas keduanya di AS.

Sebagai informasi, Shein ialah aplikasi seluler (mobile) yang paling banyak diunduh keempat di AS dan belakangan dikabarkan tengah bersiap untuk melantai di bursa efek AS lewat initial public offering (IPO).

Shein, yang didirikan oleh pengusaha Tiongkok Chris Xu, populer karena menjual pakaian fast fashion, tetapi kemudian kini juga menawarkan perlengkapan rumah.

Sementara itu, Temu ialah aplikasi serupa yang diluncurkan oleh PDD Holdings di tahun 2022 lalu. 

PDD merupakan perusahaan yang didirikan di Tiongkok dan merupakan induk dari Pinduodio, sebuah raksasa e-commerce populer di Tiongkok yang baru-baru ini diketahui dapat mengintai penggunanya.

Baik Shein dan Temu berhasil menarik perhatian warga AS lantaran memberikan penawaran ekstrem kepada pembeli yang saat ini tengah merasakan tekanan akibat inflasi.

Awal bulan ini, komisi kongres AS memanggil Shein dan Temu lantaran keduanya serta sejumlah perusahaan lainnya di Tiongkok diduga memiliki keterkaitan dengan penggunaan pekerja paksa, eksploitasi celah perdagangan, bahaya keamanan produk, hingga pencurian kekayaan intelektual.

Lebih jauh tentang Uighur, kelompok etnis Turki

Melansir BBC, kelompok hak asasi manusia dan pemerintah Barat, termasuk AS dan Inggris, telah menuduh Tiongkok menggunakan tenaga kerja paksa Uighur, etnis Muslim minoritas di sana.

Pada Desember 2020, sebuah riset mengungkap bahwa setengah juta orang Uighur dipaksa untuk mengambil katun di Xinjiang. Namun, Beijing membantah adanya pelanggaran hak asasi.

Akibat kabar tersebut, beberapa merek Barat telah menghapus katun Xinjiang dari rantai pasokannya dan AS membuat regulasi mengenai produk impor dari Xinjiang yang harus melalui proses pemeriksaan guna memastikan produk tersebut tidak dibuat oleh pekerja paksa.

Dalam hal Shein, raksasa fast fashion yang kantor pusatnya berlokasi di Singapura, disinyalir bergantung pada ribuan pemasok pihak ketiga di Tiongkok untuk memproduksi pakaiannya.

Sebelumnya, Shein juga pernah menghadapi tuduhan akibat kondisi lingkungan kerja yang mengkhawatirkan, di mana para pekerjanya dilaporkan bekerja selama 75 jam dalam seminggu.