Dalang di balik sebuah game
Read in English
Kata “Bocil Epep” kini sudah tidak asing lagi meskipun kita bukan penikmat game. Kata ini identik dengan para bocah penikmat game Free Fire. Saking fanatiknya, mereka rela mengeluarkan ratusan ribu rupiah untuk membeli barang-barang yang dijual di dalam game tersebut. Bahkan, beberapa waktu lalu, publik sempat dihebohkan dengan kasus orang tua di Sumatera Utara yang memarahi petugas kasir karena anaknya menggunakan uang sebesar Rp800.000 untuk game.
Besarnya antusiasme terhadap game terobosan Garena ini membuat Free Fire berhasil mengalahkan popularitas PUBG sebagai game mobile battle royale di Amerika Serikat. Tidak hanya itu, Garena membukukan pendapatan sebesar Rp22,5 triliun sepanjang kuartal IV-2020. Garena juga berhasil meningkatkan pendapatan Sea Limited, yang juga merupakan induk perusahaan Shopee, sebesar dua kali lipat pada periode yang sama.
Keberhasilan Free Fire membuat kita bertanya-tanya, apa yang membuat game ini begitu diminati hingga pemainnya rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar?
Popularitas sebuah game tidak lain berasal dari orang-orang di balik layar. Perancang game, ilustrator, dan programmer adalah pemeran utama yang membangun sebuah game. Perancang game memegang peranan penting dalam mengembangkan suatu game. Mereka bertugas untuk memadukan konsep yang dibuat oleh ilustrator dan programmer menjadi sebuah game yang layak dimainkan.
Tidak hanya itu, perancang game juga bertugas untuk mengatur game tersebut dari awal hingga akhir, mulai dari alur, tantangan, aturan, hingga hadiah dan aspek-aspek lain yang membuat seseorang ingin terus memainkan game tersebut.
Sebuah game akan dianggap bagus apabila game tersebut berhasil bertahan dalam waktu lama. Nick Yee (2007) menjelaskan, ada tiga hal yang memengaruhi minat seseorang untuk bermain game, yakni adanya sistem hadiah, keinginan untuk bersosialisasi, dan adanya sarana kontrol.
Minecraft, misalnya, yang telah diminati oleh banyak orang selama bertahun-tahun bahkan hingga saat ini. Game ini populer karena dirancang untuk menjadi game yang serba bisa. Dengan memadukan konsep bertahan hidup, membuat bangunan, membuat kerajinan, hingga pertempuran, game ini sudah bertahan selama 10 tahun.
Contoh lainnya adalah FIFA, yang mendorong munculnya berbagai game sejenis. FIFA dirilis pada akhir tahun 1980-an dan mampu mempertahankan popularitasnya hingga sekarang, bahkan sudah diterjemahkan ke dalam 18 bahasa dan tersedia di 51 negara.
Bagi sebagian orang, bermain game menjadi hobi, sementara bagi sebagian lainnya, game menjadi salah satu bentuk pelarian yang tidak berbahaya dari kenyataan. Salah satu narasumber TFR menyebutkan bahwa biasanya ia menghabiskan waktu 6 jam dalam sehari untuk bermain game online. Narasumber lainnya menghabiskan lebih dari 10 jam dalam sehari untuk bermain game, bahkan bersedia mengeluarkan uang yang cukup besar untuk membeli game baru.
Lead Game Designer di Coralis Studio, Febndy Kwik, menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek yang mampu membuat sebuah game dapat bertahan lama, yaitu animasi, cara bermain, dan alur game tersebut. Ia menjelaskan, bagus atau tidaknya animasi sebuah game akan menentukan apakah seseorang akan mulai memainkan game tersebut atau tidak.
Cara bermain suatu game juga menentukan minat dan jangka waktu bermain seseorang. “Banyak game yang bagus, tetapi jika cara memainkannya cenderung sama dengan game lain atau bahkan membosankan, maka pemain kemungkinan hanya akan bertahan untuk sementara saja,” tuturnya dalam wawancara dengan TFR.
Kwik menambahkan, alur cerita yang menarik akan terus memancing minat pemain, bahkan dapat menjadi referensi bagi karya turunannya, seperti buku, film, dan cenderamata. “Ketika sebuah game sudah sampai ke tahap ketiga, kemungkinan game tersebut akan bertahan lama,” jelasnya.
Resident Evil dan Tomb Raider adalah contoh game yang pada akhirnya diadopsi menjadi film dan bahkan memperoleh peringkat yang bagus. Semua berawal dari kerja keras perancang game dan tim lainnya yang berhasil menghidupkan game-game tersebut.
Saat ini, perkembangan industri game di Indonesia sudah semakin meyakinkan, bahkan meningkat di tengah pandemi COVID-19. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Global Consumer Survey, pendapatan industri game Indonesia mencapai 10.8% per tahun dan diperkirakan akan meningkat menjadi $2,14 miliar pada tahun 2025.
Namun, industri game Indonesia masih mengalami berbagai kendala, sebagaimana dijelaskan oleh Kwik, di antaranya stigma buruk yang melekat pada game dan masih rendahnya kesediaan pemain untuk membayar. Lebih lanjut ia menjelaskan, dukungan orang tua bagi anak yang ingin kuliah di jurusan teknologi game masih sering ditolak, bahkan ia sendiri mengalaminya. Di samping itu, universitas yang menawarkan jurusan ini masih sedikit. Sampai saat ini, hanya ada 10 kampus di Indonesia yang tercatat memiliki jurusan tersebut.
Dalam Peta Ekosistem Industri Game Indonesia 2020 yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tercatat bahwa 66,7% pengembang game yang disurvey pernah mengalami kegagalan produksi. Dari angka tersebut, faktor kekurangan dana menjadi alasan utama dengan persentase responden 35,29%. Bagi pengembang dengan skala kecil, faktor pendanaan menjadi masalah utama, sedangkan bagi pengembang dengan skala besar, permasalahan yang sering timbul adalah terkait investasi.
Kwik menjelaskan bahwa faktor kesediaan membayar konsumen Indonesia masih rendah. Oleh karena itu, para pengembang membutuhkan modal besar untuk mengoperasikan game dengan konsep free-to-play untuk menarik minat konsumen.
Permasalahan lain yang timbul adalah masih ada perusahaan pengembang game di Indonesia yang belum memiliki badan hukum sehingga terkendala untuk memperoleh insentif dari pemerintah.
Riset tersebut juga mencatat bahwa 65% responden mengeluarkan biaya dari kantong sendiri untuk mengembangkan game. 10,8% responden mendapat dana dari angel investment, dan 4,8% mendapat dana dari modal ventura. “Mungkin harus diadakan dukungan dalam bentuk sosialisasi atau kampanye untuk mengajak konsumen agar memainkan game-game yang diproduksi oleh perusahaan lokal yang mungkin sedikit lebih mahal, namun membantu pertumbuhan industri,” tutur Kwik.
Hingga saat ini, sudah ada beberapa game buatan perusahaan Indonesia yang mendunia, seperti DreadOut karya pengembang lokal asal Bandung, Digital Happiness, yang juga telah diadopsi menjadi film dengan judul yang sama dan disutradarai oleh Kimo Stamboel.