Lucky Kuswandi ceritakan proses kreatif di balik film orisinal Netflix “Dear David”
Netflix kembali meluncurkan film orisinal Indonesia terbarunya “Dear David” hari ini, Kamis (9/2). Film ini besutan sutradara Lucky Kuswandi dan dibintangi Shenina Cinnamon, Emir Mahira, serta Caitlin North.
“Dear David” adalah film yang mengangkat kisah coming of age yang relevan dengan kondisi sebenarnya. Tidak hanya mengenai kisah percintaan antara karakternya, tetapi juga tentang krisis identitas hingga eksplorasi seksualitas yang jarang ditemui di film remaja pada umumnya.
Betapa tidak, film kelima garapan Palari Films ini menunjukkan bagaimana kehidupan para remaja sebenarnya memiliki banyak sudut pandang yang dapat dieksplorasi.
Pasalnya, melalui “Dear David”, sutradara film “Ali & Ratu-Ratu Queens” itu ingin menyorot isu yang umum dialami setiap orang, yakni mengenai self-love dan self-compassion.
Menariknya, sang produser Muhammad Zaidi mengungkapkan bahwa “Dear David” sendiri terinspirasi dari kehidupan pribadi penulis naskahnya, Winnie Benjamin.
“Idenya muncul dari personal life penulis naskahnya. Dia penulis, punya blog, fan fiction. Awalnya dari situ dan saya rasa ini cukup unik dan menarik untuk dieksplorasi. Ini cukup relevan dengan anak muda saat ini,” ujar laki-laki yang akrab disapa Edi itu dalam konferensi pers film “Dear David”, Rabu (8/2).
Baca juga: “The Big 4” jadi film non-bahasa Inggris nomor dua terpopuler di Netflix
Perjalanan panjang pembuatan film “Dear David”
Untuk menghasilkan karya terbarunya ini, Lucky dan Edi harus melalui proses yang panjang, khususnya dalam hal persiapan yang memakan waktu selama satu sampai dua bulan.
Apalagi, karena seluruh persiapan tersebut dilakukan ketika pandemi COVID-19 masih tinggi-tingginya, yakni awal tahun 2022.
“Syutingnya cukup ringkas karena persiapannya cukup panjang, para pemain sudah workshop dan reading, sehingga pas syuting hanya take,” ungkap Edi.
“Cukup mudah. Ada satu dua hari yang memang susah, tapi most of the time it was fun,” tambahnya.
Lucky pun menambahkan, “Seperti produksi film biasanya, tantangan terbesar selalu di preparation”.
Selama proses itu, selain memilih cast yang cocok untuk memerankan ketiga karakter utama, Laras, David, dan Dilla, keduanya harus memikirkan visualisasi konsep fantasi untuk ditampilkan dalam film.
Untuk melahirkan gambaran fantasi karakter Laras, Edi mengaku banyak terinspirasi dari musisi pop seperti Taylor Swift dan Katy Perry, yang kemudian idenya dikembangkan oleh sang sutradara.
“Ini merupakan long discussion. Fantasinya mengikuti karakter Laras, harus terlihat artificial, karena perspektif dia tentang cinta masih blurry. Pegangan kita adalah journey dari karakternya,” tambah Lucky.
Pemilihan cast untuk membintangi karakter pun dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Alih-alih hanya fokus pada visual, Lucky menginginkan aktor yang memiliki cerita relatable dengan karakter dalam film.
“Kita melewati proses casting, yang kita pastikan adalah kita ketemu langsung. I wanna hear their story, energi apa yang mereka berikan ke film ini, jadi aku mau tau ada apa, sih, dengan mereka, apa yang bisa mereka offer,” ujar Lucky yang berharap “Dear David” dapat ditonton dan diterima dengan baik.
“Kemudian ada proses casting chemistry, akhirnya inilah yang menentukan karena ini tidak bisa dibuat-buat dan tumbuh secara natural di mereka,” pungkasnya.