Pameran tunggal I Gusti Ayu Kadek Murniasih digelar Gajah Gallery pada Art Basel 2023
Ragam karya mendiang perupa I Gusti Ayu Kadek Murniasih akan ditampilkan Gajah Gallery dalam perhelatan art fair global Art Basel 2023 Feature Sector.
Menurut keterangan resmi Gajah Gallery yang diterima TFR (31/5), Murniasih menjadi satu-satunya seniman asal Asia Tenggara yang ditampilkan dalam Feature Sector pameran seni rupa bergengsi tersebut.
Lantas, siapa kah mendiang Murniasih sebenarnya? Perempuan kelahiran 1966 di Bali tersebut merupakan salah seorang tokoh seni rupa terpenting di Tanah Air.
Dalam karya-karyanya, Murniasih menampilkan penggambaran tubuh, seksualitas, dan kedalaman subkonsiusnya.
Akan tetapi, sejak kepergiannya pada 2006, menurut Gajah Gallery, perempuan perupa ini telah terabaikan dalam narasi utama sejarah seni rupa Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Oleh karena itu, dengan menampilkan karya-karya Murniasih termasuk yang belum pernah dipamerkan sebelumnya, Gajah Gallery berharap bisa mendorong pembacaan lebih dalam tentang tema-tema yang menonjol dalam kekaryaan pelukis tersebut.
“Dengan melakukan presentasi ini, galeri membahas kedalaman yang belum dijelajahi dalam luasnya kumpulan karya Murni; mengkaji relevansi dan urgensi karyanya dalam konteks sekarang,” tulis penjelasan galeri yang berbasis di Singapura dan Indonesia tersebut.
Kemudian, Gajah Gallery juga menjelaskan, “Dengan memamerkan karyanya di luar Asia Tenggara, (kita dapat) menilai kembali kekuatan warisan budaya di panggung global.”
Sebagai informasi, pameran tunggal Murniasih pada Art Basel 2023 di Basel, Swiss, digelar mulai 15 hingga 18 Juni mendatang.
Baca juga: Mengenal bentang alam minang lewat pameran tunggal "Darek #1: Bentang Alam"
Murniasih merupakan seorang penyintas kekerasan seksual
Sosok perempuan yang kini karyanya telah merajalela dan ditampilkan di sejumlah institusi bergengsi seperti Museum MACAN, The National Gallery of Australia, hingga 58th Edition of Carnegie International tersebut, mengarungi berbagai gejolak rintangan semasa hidupnya.
Ketika masih muda, Murniasih disinyalir menjadi penyintas kekerasan seksual dan bertahan melewati kerasnya hidup dengan menjadi pekerja rumah tangga (PRT).
Selanjutnya, di pertengahan usia 20-an, Murniasih menerima panggilan hidupnya menjadi seniman dan mulai belajar melukis di bawah bimbingan I Dewa Putu Mokoh.
Ia pun terus mengasah gayanya sendiri hingga menemukan karakter garis meliuk dengan warna cerah dan berani.
Mendiang perupa ini pun melakukan penggambaran konsisten tentang subjek yang begitu personal baginya, yakni trauma masa lalu dan mimpi-mimpi liar.
“Murni melukis rasa sakit dan fantasinya dengan humor dan kejujuran. Di dunianya, perempuan tanpa malu-malu menyambut kenikmatan; tubuh amorfis dari pasif jadi aktif; dan bagian tubuh erotis digambarkan berlebihan tampak hidup dan kadang, sakral,” tulis penjelasan galeri.
Suarakan pengalaman trauma, merespons suasana opresif Orde Baru
Lebih lanjut, karya-karya Murniasih yang memiliki tema seputar tubuh, trauma, mimpi, dan hasrat perempuan disebut terus relevan bagi audiens di luar zaman dan wilayah asalnya.
Penggambaran tubuh perempuan yang tidak konvensional disinyalir menjadi upaya Murniasih untuk menyudahi ‘pandangan pria’ (male gaze), yang melihat perempuan sebagai objek hasrat.
Tak hanya itu, penggambaran tubuh-tubuh yang mengerikan bagi seni rupa pada masanya dikatakan Gajah Gallery sebagai respons atas suasana opersif Orde Baru di Indonesia.
“Mimpi” menjadi kedok untuk menghindari kecaman
Selain kritis lewat gagasan karya, Murniasih disinyalir cukup cerdik dalam menavigasi label dan rasa malu karena tema seputar seksualitas perempuan yang diangkatnya.
Pasalnya, pasangan Murniasih semasa hidupnya, Mondo Zanolini, mengungkapkan dalam wawancara baru-baru ini, bahwa Murniasih mendeskripsikan karya-karyanya sebagai “mimpi” untuk menghindari kecaman atas lukisannya yang sensual dan eksplisit.
Bahkan, Zanolini mengungkap karya-karya perempuan perupa itu kerap dilabeli sebagai pornografi.