Pembaruan Undang-Undang Cipta Kerja: Hak-hak buruh
Read in English
Undang-Undang Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR, namun banyak yang masih menuntut penundaan penerapannya karena undang-undang tersebut sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Fakta ini tampaknya tidak mencerminkan kenyataan, karena pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah dan keputusan presiden sebagai peraturan pelaksana undang-undang tersebut.
Sampai akhir Februari, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) masih menyampaikan tuntutan mereka agar Presiden Joko Widodo menunda pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.34, 35, 36, dan 37 Tahun 2021. Ketua KSPI, Said Iqbal, menyampaikan kesediaan KSPI untuk mendiskusikan peraturan pemerintah itu dan meminta agar penerapannya ditunda sampai Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan. Ia juga menyatakan kesediaan KSPI untuk membawa keempat peraturan pemerintah tersebut ke hadapan Mahkamah Agung setelah Mahkamah Konstitusi membuat keputusan mengenai Undang-Undang Cipta Kerja.
Namun, peraturan pemerintah dan keputusan presiden sudah dibuat dan ditandatangani. Sebagai pekerja, mengetahui apa saja hak kita setelah melaksanakan kewajiban kita adalah demi kepentingan terbaik kita untuk bisa bertahan dalam kekacauan politik dan sosial sekarang ini.
Jam kerja dan lembur
Batas waktu lembur ditambah. Peraturan Pemerintah No.35/2021 mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja menyatakan bahwa waktu lembur maksimal ditambah menjadi empat jam per hari kerja atau 18 jam per minggu dari tiga jam per hari kerja dalam peraturan sebelumnya.
Perhitungan upah lembur tidak berubah: 1,5 x upah per jam untuk jam pertama dan 2 x upah per jam untuk jam-jam selanjutnya. Peraturan mengenai jam kerja juga tidak berubah: tujuh jam per hari untuk enam hari kerja per minggu dan delapan jam per hari untuk lima hari kerja per minggu, atau total 40 jam kerja per minggu.
Cuti berbayar dan tidak berbayar
Undang-Undang Cipta Kerja juga mengubah peraturan mengenai cuti besar. Peraturan sebelumnya menyatakan bahwa pekerja boleh mengambil cuti besar pada tahun ketujuh bekerja di perusahaan. Namun, dalam Undang-Undang Cipta Kerja, syarat dan ketentuan bagi pekerja untuk mengambil cuti besar tergantung pada peraturan perusahaan, perjanjian kerja, dan perjanjian kerja bersama.
Selain ketentuan tersebut, tidak ada lagi yang berubah, termasuk cuti sakit, cuti haid, serta cuti melahirkan dan cuti keguguran. Perusahaan dilarang memecat pekerja yang sakit kurang dari satu tahun dan perusahaan diharuskan untuk membayar pekerja dengan gaji penuh pada empat bulan pertama cuti sakitnya, 75% pada empat bulan kedua, 50% pada empat bulan ketiga, dan 25% pada bulan terakhir sebelum pemutusan hubungan kerja. Perempuan berhak untuk mendapatkan dua hari cuti haid setiap bulan dan cuti selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan atau sesudah keguguran.
Pemutusan hubungan kerja
Peraturan Pemerintah No.35/2021 menentukan 15 kondisi di mana hubungan kerja bisa diputuskan:
Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;
Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;
Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun;
Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure);
Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
Perusahaan pailit;
Adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melanggar hak pekerja/buruh;
Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;
Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
Pekerja/buruh mangkir selama lima hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha dua kali secara patut dan tertulis;
Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama enam bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama enam bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan;
Pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
Pekerja/buruh meninggal dunia
Pesangon dan masa kerja
Pasal 167 Undang-Undang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak. Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya, maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
Namun, pasal ini dihapuskan dalam Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 81 ayat 56.
Pasal 81 ayat 44 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Maka dari itu, pekerja yang memasuki masa pensiun berhak mendapatkan uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Detail mengenai pesangon dapat ditemukan dalam Pasal 56 Peraturan Pemerintah No.35/2021.
Jaminan sosial dan asuransi kesehatan
Undang-Undang Cipta Kerja juga mengubah beberapa poin dalam Undang-Undang No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional). Pasal 18 Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial menentukan lima program jaminan sosial, yaitu jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Pemerintah menambahkan program jaminan sosial baru, yaitu jaminan kehilangan pekerjaan, ke dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan membuat lima pasal baru (Pasal 46A, 46B, 46C, 46D, dan 46E) untuk memberikan detail lebih mengenai program jaminan kehilangan pekerjaan. Undang-Undang Cipta Kerja juga menunjuk BPJS Ketenagakerjaan sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas jaminan kehilangan pekerjaan dalam skala nasional.
Hak pekerja paruh waktu
Perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja paruh waktu tercakup di dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PWKT). Perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dibuat berdasarkan:
Jangka waktu; atau
Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Waktu, volume pekerjaan, dan kehadiran digunakan sebagai dasar upah.
Beberapa perubahan yang dibuat mengenai ketentuan ini dalam Undang-Undang Cipta Kerja termasuk revisi atas Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Di bawah ketentuan yang baru, yaitu Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.35/2021, perjanjian kerja waktu tertentu dapat dibuat untuk paling lama 5 tahun.
Pasal 10 Peraturan Pemerintah No.35/2021 menyebutkan bahwa perjanjian kerja harian dilaksanakan terhadap pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta pembayaran upah pekerja/buruh berdasarkan kehadiran. Perjanjian kerja harian dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam satu bulan. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 hari atau lebih selama tiga bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian menjadi tidak berlaku dan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh demi hukum berubah berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Terobosan lain bagi pekerja paruh waktu ada dalam Peraturan Pemerintah No.35/2021 Pasal 11 ayat (3) yang menyatakan bahwa pengusaha wajib memenuhi hak-hak pekerja/buruh termasuk hak atas program jaminan sosial.
Undang-Undang Cipta Kerja juga mengharuskan pengusaha untuk memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT yang telah mempunyai masa kerja paling sedikit satu bulan secara terus menerus. Pemberian uang kompensasi dilaksanakan pada saat berakhirnya PKWT. Kompensasi ini berlaku bahkan jika pengusaha memperpanjang PKWT setelah masa lima tahun berakhir.
Bagaimana cara menghitung kompensasi?
PKWT selama 12 bulan secara terus menerus, diberikan sebesar satu bulan upah.
PKWT selama satu bulan atau lebih tetapi kurang dari 12 bulan, dihitung secara proporsional dengan perhitungan:
Masa kerja (bulan)
_______________ x 1 bulan upah
12
PKWT selama lebih dari 12 bulan, dihitung secara proporsional dengan perhitungan:
Masa kerja (bulan)
_______________ x 1 bulan upah
12