Seberapa nyatakah acara realita?
Read in English
Hill Annette (2005) mendeskripsikan acara realita sebagai genre sendiri yang mendokumentasikan situasi nyata tanpa naskah. Genre ini menjadi popular semenjak serial MTV The Real World yang dimulai dengan penggambaran berbagai isu anak muda, seperti seks, aborsi, AIDS, dan kematian. Setelah kesuksesan acara tersebut, kita lalu melihat banyak acara bermunculan dan sukses di bawah genre ini, seperti The Simple Life, Idols, serta Keeping Up with The Kardashians.
Di Indonesia, genre ini juga sangat populer. Popstar Indonesia menjadi yang pertama dalam jenis ini di Indonesia. Acara itu sendiri adalah adaptasi dari acara realita asal Selandia Baru, Popstars. Acara tersebut tayang selama satu musim dan memproduksi sebuah grup yang bernama SparX, namun tidak ada lagi berita dari mereka setelahnya. Acara selanjutnya menjadi apa yang mungkin kita anggap sebagai pendorong aliran acara realita yang tidak pernah absen di televisi kita sampai saat ini.
Akademi Fantasi Indonesia, atau disingkat AFI, menjadi acara realita pencarian bakat dengan rating paling tinggi di Indosiar. Acara itu sendiri merupakan adaptasi dari acara asal Meksiko, La Academia, dan acara asal Malaysia, Akademi Fantasia. Acara tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah dan pesertanya disebut sebagai murid. Para peserta ini dikarantina dalam sebuah asrama dan diikutsertakan ke dalam berbagai kelas, seperti bernyanyi, menari, memainkan peran, dan bahasa Inggris. Pemenangnya ditentukan melalui jumlah SMS yang dikirimkan sebagai dukungan bagi peserta, yang sangat bertumpu pada popularitas mereka. Di akhir musim, pemenang akan langsung membangun karir mereka sebagai penyanyi dengan Sony Music Indonesia.
Di antara gelombang sinetron yang tayang di TV Indonesia saat itu, acara ini menjadi semacam angina segar. Selain kehebohan selama kompetisi, AFI juga diadakan di dalam lingkungan yang sangat terkontrol. Ketegangan, romantis ataupun tidak, akan terjadi, dan hal tersebut menjadi salah satu poin penjualan acara ini. Drama yang terjadi sepanjang musim entah bagaimana mampu menunjukkan karakter para peserta yang kemudian membangkitkan simpati atau empati penonton. Hal ini sesuai dengan penemuan Shitrit & Cohen (2016) bahwa acara realita cenderung mendorong keterbukaan diri yang ekstrem.
Melihat kesuksesan AFI, tidak lama kemudian acara pencarian bakat lainnya mulai bermunculan. Namun, genre TV realita Indonesia tidak berhenti hanya pada pencarian bakat; popularitas acara seperti Sang Mantan, Bedah Rumah, Uang Kaget, dan sebagainya juga mulai naik. Tidak seperti pencarian bakat, acara semacam itu tidak terjadi dalam lingkungan yang terkontrol dan membuat penonton lebih terlibat secara emosional. Sebagai contoh, Sang Mantan yang premisnya adalah mengenai orang yang meminta bantuan acara ini untuk kembali bersama mantan yang sudah putus. Bagaimana menurut kalian acara TV realita seperti ini akan menimbulkan drama?
“Biasanya, drama ditimbulkan melalui naskah,” Vina, MC acara Sang Mantan dan ANSOS, membagikan pengalamannya bekerja dalam proyek ini. “Sebagai contoh, talent A ingin berbaikan setelah putus dengan talent B karena perselingkuhan, namun kemudian talent B akan diarahkan untuk menolak atau untuk mengungkapkan bahwa mereka sakit, atau semacamnya,” tambahnya, “jadi sudah ditulis.” Dia juga membagi pengalamannya dengan ANSOS atau Anak Sosmed, yang cukup serupa.
Talent lain yang TFR hubungi mengekspresikan pengalaman serupa. Bru (35) adalah talent untuk acara Cintailah Cinta edisi Valentine. Dia menjelaskan bahwa ketika itu dia harus melalui proses casting. “Selama casting, saya disuruh bereaksi terhadap situasi tertentu,” jelasnya, “saya ikut casting untuk peran pemarah.”
Kata ‘peran’ menarik karena mengambil peran berarti bahwa acara tersebut mempertunjukkan talent yang tidak menjadi diri mereka sendiri. Dia juga menambahkan bahwa dalam acara tersebut, dia memerankan Surya, pacar lama yang pemarah. “Pacarnya juga seorang talent, bukan pacar saya yang sebenarnya; jadi ada talent lain yang terlibat.”
Namun, tidak semua situasi ada di bawah kendali. Pengalaman Vina dengan ANSOS, contohnya. Dalam acara itu, dia seharusnya menjalani kehidupan orang lain yang lebih kurang beruntung darinya. Ya, dia dan MC lainnya diberikan peran tertentu dan disuruh berperilaku sesuai dengan peran tersebut, namun bahkan ketika banyak aspek sudah direncanakan, tidak ada yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi di lokasi. “Ada siatusi yang sudah ditulis, namun ada juga hal-hal yang terjadi tanpa disengaja di lokasi,” ujarnya.
Fakta ini menimbulkan pertanyaan baru: apakah realitas yang dipalsukan bukan realita sama sekali? Seberapa nyata diri yang bisa kalian tampilkan ketika ada kamera dan tim yang mengikuti kalian?
Selain acara-acara tersebut, kita memiliki acara realita lainnya dengan pendekatan dan eksekusi yang berbeda, seperti AnakArtis dan Bukan Keluarga Biasa. Acara TV realita ini mengikuti orang-orang tertentu; lima anak selebriti dalam AnakArtis dan keluarga Vanesha Prescilla, Sissy Priscillia, Rifat Sungkar, Jevin Julian, dan Rini Wulandari dalam Bukan Keluarga Biasa. Pendekatan ini tampaknya mengingatkan kita akan Keeping Up with The Kardashians di mana kita bisa melihat aktivitas sehari-hari keluarga Kardashian, namun dengan drama yang tidak terlalu dibuat-buat.
Dalam diskusi mengenai pengalamannya menjadi bagian dari AnakArtis, Brandon Salim (24) menganggap kesempatan tersebut sebagai alternatif segar baginya dan teman-temannya untuk mengekspresikan diri dan memperkenalkan diri mereka kepada publik tanpa distorsi apa pun. Acara tersebut memiliki sutradara yang sama. “Saya dan anak-anak lainnya juga memiliki waktu untuk saling mengenal dan mempelajari tentang satu sama lain selama syuting bersama berminggu-minggu, jadi kami juga pada akhirnya berbagi cerita,” jelasnya. “Jadi, ketika kami berbicara di hadapan kamera, tidak ada naskah apa pun, hanya apa yang biasa kami bicarakan di antara kami sendiri.”
Dia juga bercerita bahwa sedikit sulit baginya sebelumnya, karena dia merasa seperti dia harus mengenakan topeng untuk bisa disukai oleh orang. “Namun, dalam AnakArtis, saya menjadi diri saya sendiri dan saya disukai dan acara itu menghibur orang-orang, yang membuat saya senang karena (menjadi diri saya sendiri) sangat memuaskan saya.”
Pendekatan Brandon tersebut memang terlihat sangat nyata, sehingga acara tersebut juga meninggalkan kesan baginya. Untuk mengerti bentuk acara TV realita ini, TFR juga menghubungi orang-orang di balik acara-acara tersebut.
Sean Monteiro, sutradara AnakArtis dan Bukan Keluarga Biasa, mengungkapkan proses panjang yang harus dilaluinya dan timnya ketika mereka akan memulai Bukan Keluarga Biasa. Pada awalnya, konsepnya lebih mengenai ‘keluarga selebriti,’ namun semua berubah selama prosesnya. “Ketika (keluarga) sudah setuju untuk terlibat, kami mulai bertemu secara rutin; kadang saya akan bertemu mereka satu per satu dan hanya akan berbincang,” dia menceritakan pengalamannya, “semakin dalam hubungan kami, semakin saya mengerti siapa mereka, dan semakin dekat acara itu dengan kehidupan mereka.”
Situasi tersebut tercermin juga dalam perbincangan TFR dengan Nadia Hudyana, sutradara dan showrunner Bukan keluarga Biasa. Menurutnya, apa yang membedakan acara TV realita dengan lainnya adalah aspek realitanya. Tidak seperti acara TV lainnya, acara dengan genre ini seharusnya ‘nyata’ dan tidak bernaskah. “Talent acara ini seharusnya menjadi diri mereka sendiri, melakukan hal-hal yang memang biasa mereka lakukan, dan benar-benar berbincang di antara mereka,” jelasnya.
Mengenai pengarahan, Sean mengatakan bahwa ada beberapa pengarahan dan perencanaan dalam proses produksi. “Saya memiliki rencana mengenai hari syutingnya,” tuturnya, “dan dalam rencana tersebut, kami juga memiliki semacam pedoman untuk kira-kira akan ke mana arah ceritanya.” Namun, dia tidak pernah membagikan rencana-rencana ini dengan para talent. Itulah mengapa kadang banyak hal akan berubah sangat drastis dari apa yang diharapkan. Elemen kejutan bagi tim di balik produksi ini memberikan cara baru untuk menimbulkan konflik nyata untuk ditangkap oleh kamera. Sean mungkin telah menetapkan adegan-adegannya, tapi situasi pribadi talent adalah apa yang menciptakan.
Akhirnya, ketika membicarakan acara TV realita, kita mungkin berpikir: apa yang membuat realita yang ditunjukkan dalam layar begitu menarik, kadang bahkan lebih menarik dari realita kehidupan para penonton?
“TV realita menutup jarak antara penonton dan orang yang mereka lihat di layar,” ucap Sean. Pada dasarnya, ketika seseorang menonton film, jarak antara mereka dan karakter yang mereka tonton sangat lebar. Namun, dengan acara TV realita, penonton akan bisa melihat kehidupan orang-orang yang sangat berbeda dengan mereka, namun tetap bisa merasa terikat.
Dalam arti tertentu, genre ini mungkin menarik bagi penonton untuk kualitas katartisnya. Acara realita mungkin memberikan kesempatan bagi penonton untuk bisa merefleksikan lebih mengenai realita mereka atau bahkan kemanusiaan mereka. Atau, mereka mungkin hanya menikmati apa yang mereka lihat, dan itu pun tidak apa-apa.