5 pertimbangan dalam membeli saham IPO
Istilah IPO dalam saham menjadi hal yang perlu dipahami oleh investor. Saham IPO atau initial public offering menandakan pertama kali saham perusahaan swasta dijual ke publik.
Meskipun saham IPO sering erlihat menggiurkan karena dianggap bisa memberikan keuntungan berkali-kali lipat, tetapi tetap diperlukan pertimbangan sebelum membeli saham IPO.
Pasalnya, di samping kelebihannya tersebut, saham IPO juga memiliki kekurangan. Salah satu kekurangan saham IPO ialah investor harus berhadapan dengan fluktuasi harganya, seperti dikutip dari The Balance.
Oleh sebab itu, berikut 5 tips beli saham IPO yang bisa dicoba investor.
Tips beli saham IPO
1. Lakukan riset objektif yang mendalam
Mendapatkan informasi mengenai perusahaan yang ingin go public merupakan hal yang cukup sulit. Berbeda dengan perusahaan yang secara umum diperdagangkan, perusahaan swasta biasanya tidak memiliki analis sendiri yang bisa mengungkap celah perusahaan.
Walaupun kebanyakan perusahaan berupaya untuk memberikan seluruh informasi pada prospektus mereka, namun dokumen tersebut ditulis oleh mereka sendiri, bukan pihak ketiga, sehingga bisa saja bias.
Oleh sebab itu, melansir Investopedia, strategi beli saham IPO yang pertama adalah dengan melakukan riset mendalam secara online mengenai seluruh informasi perusahaan dan kompetitornya.
Selain itu, riset juga tentang kondisi keuangan perusahaan, siaran pers, sampai kesehatan industrinya secara keseluruhan.
Mempelajari secara merinci tentang perusahaan yang ingin dibeli sahamnya merupakan langkah krusial agar kamu lebih bijak dalam berinvestasi.
Di sisi lain, riset tersebut bisa saja mengarahkan kamu pada penemuan bahwa prospek perusahaan tersebut sedang dibesar-besarkan, sehingga hal ini bisa menjadi pertimbangan lainnya sebelum membeli saham IPO.
Baca juga: Investasi terhadap perusahaan direct-to-consumer, kenapa tidak pernah terdengar?
2. Pilih perusahaan dengan broker yang kuat
Cobalah untuk memilih perusahaan yang memiliki underwriter. Tak melulu harus bank investasi besar, namun setidaknya merupakan broker yang berkualitas.
Penting pula untuk lebih berhati-hati ketika memilih broker yang lebih kecil karena mereka bisa saja menerima dan menanggung seluruh perusahaan.
Sebagai contoh, perusahaan investment banking ternama Goldman Sachs memiliki reputasi selektif dalam memilih broker yang lebih kecil dan tidak terkenal.
Dalam kasus tersebut, salah satu kelebihannya ialah broker yang memiliki lingkup karyawan kecil biasanya lebih mempermudah investor individu untuk membeli saham IPO, meskipun di sisi lain hal ini bisa jadi merupakan ‘red flag’.
Perlu diketahui bahwa kebanyakan firma broker besar tidak akan mengizinkan investor untuk berinvestasi pada saham IPO apabila kamu merupakan investor pemula.
Biasanya, investor individu yang bisa mendapatkan saham IPO adalah konsumen yang sudah mapan dan merupakan pelanggan lama dengan kekayaan tinggi.
3. Selalu baca prospektus
Sebelumnya disebutkan bahwa prospektus bisa saja bias apabila dibuat langsung oleh perusahaan, namun, bukan berarti lantas kamu tidak perlu membacanya.
Kendati membosankan dan tidak menyenangkan, prospektus yang dapat diminta ke broker yang bertanggung jawab untuk membawa perusahaan ke publik amat penting karena menjabarkan risiko dan peluang subjek.
Prospektus juga berisikan usulan penggunaan uang yang akan dikumpulkan dari IPO. Sebagai contoh, jika uang IPO tersebut akan dipakai untuk membayar pinjaman atau membeli ekuitas dari pendiri atau investor swasta, sebaiknya lewatkan dulu untuk membeli saham tersebut.
Pasalnya, hal ini menandakan bahwa perusahaan tersebut tidak mampu membayar kembali pinjamannya apabila tidak go public.
Secara umum, uang yang diperoleh dari IPO yang kemudian akan dipakai untuk penelitian, pemasaran, atau bahkan perluasan pasar merupakan gambaran yang lebih baik untuk berinvestasi.
Hal krusial lainnya yang perlu diwaspadai saat membaca prospektus adalah prospek pendapatan masa depan yang terlalu optimis. Prospektus yang terlalu menjanjikan merupakan kesalahan yang hanya menunjukkan bagaimana perusahaan tersebut sedang berlomba-lomba untuk sukses di pasar.
Maka dari itu, penting bagi para investor untuk membaca proyeksi angka akuntansi dengan sangat berhati-hati.
Baca juga: Prospek cerah, Indonesia jadi tujuan investasi digital terpopuler di ASEAN
4. Berhati-hati sebelum membeli saham IPO
Skeptis merupakan sikap positif dalam hal membeli saham IPO. Seperti disebutkan sebelumnya, terdapat banyak ketidakyakinan ketika membeli saham ini, termasuk karena kurangnya informasi.
Apalagi ketika broker kamu yang merekomendasikan sendiri IPO tersebut karena mengindikasikan bahwa perusahaan meminta broker untuk menjual saham tersebut ke investor.
Dalam hal itu, investor individu kemungkinan tidak akan mendapatkan keuntungan. Jika broker menawarkan saham IPO tertentu, tidak ada salahnya untuk merasa curiga dan melakukan 3 langkah di atas.
Ini juga merupakan pengingat terkait poin penting lainnya, yakni akan sulit bagi investor biasa untuk mendapatkan saham dari perusahaan potensial yang akan go public.
5. Pertimbangkan untuk menunggu masa lock-up berakhir
Periode lock-up merupakan kontrak mengikat yang berlangsung selama tiga sampai 24 bulan antara penjamin dan orang dalam perusahaan, yang melarang investor untuk menjual saham apa pun dalam jangka waktu tertentu.
Artinya, meskipun investor perusahaan ingin menjual sahamnya, ia secara hukum dilarang untuk melakukannya sebelum periode lock-up berakhir.
Menunggu sampai “orang dalam” bebas menjual sahamnya merupakan strategi beli saham IPO yang bisa diterapkan, sebab apabila mereka lanjut mempertahankan sahamnya setelah periode lock-up, ini dapat menandakan bahwa perusahaan tersebut memiliki masa depan cerah yang berkelanjutan.
Menerapkan ke-5 strategi di atas ketika membeli saham IPO dapat membantu investor agar mendapatkan saham yang lebih meyakinkan guna menghindari kerugian.
Menemukan saham IPO yang memiliki potensi terbesar memang tidak mudah, tetapi bukan berarti investor tidak boleh membeli saham IPO dan harus benar-benar mengabaikan jenis saham yang satu ini.
Baca juga: Investor dalam perusahaan direct-to-consumer, apa yang mereka cari?