Pekerja Amazon mogok kerja 24 jam, klaim robot diperlakukan lebih baik
Para pekerja Amazon di Inggris lakukan demo dan mogok kerja mulai Rabu (25/1) tengah malam, akibat masalah gaji dan perlakuan tidak adil perusahaan asal Amerika Serikat tersebut bagi karyawannya.
Melansir CNBC (25/1) setidaknya 300 orang dari 1.000 pekerja pabrik Amazon ikut dalam aksi protes selama 24 jam tersebut.
Mogok kerja ini dimulai beberapa menit setelah tengah malam di depan pabrik Amazon di Coventry, Inggris.
Upah tak sepadan dan kondisi kerja yang kabarnya buruk menjadi penyebab protes ini. Bahkan, seorang pekerja yang ikut aksi bernama Darren Westwood mengatakan, “Seseorang bilang waktu itu kalau kami diperlakukan seperti robot — tidak, robot diperlakukan jauh lebih baik (dari kami).”
Ternyata, para pekerja Amazon itu tak bergerak sendirian. Pasalnya, mereka direpresentasikan oleh serikat pekerja antar sektor industri Inggris, GMB Union.
Namun kepada CNBC, perwakilan Amazon Inggris mengatakan bahwa jumlah pekerja yang ikut aksi itu tidak signifikan, “hanya 1% dari karyawan kami di Inggris.”
Baca juga: Amazon memberhentikan 18 ribu karyawan, termasuk staf Comixology
Duduk perkara protes pekerja Amazon di Inggris
Di tengah inflasi yang menimpa masyarakat Inggris, para pekerja Amazon tersebut mengaku hanya mendapat kenaikan gaji sebanyak £0.50 (sekitar Rp8.000) per jam, yaitu sekitar 5%.
Menurut laporan CNBC, kenaikan gaji tersebut dilakukan Amazon sejak musim panas tahun lalu. Namun, para pekerja gudang mengatakan bahwa kenaikan tidak berimbang dengan peningkatan biaya hidup mereka.
Bahkan, perwakilan partisipan demo mengujar bahwa rekannya sampai bekerja 60 jam seminggu demi memenuhi kebutuhannya.
Harapan pekerja untuk Amazon
Peningkatan kebutuhan dasar hidup masyarakat Inggris itu terjadi karena lonjakan inflasi akibat peningkatan biaya sumber daya dan rantai pasok, sebagai dampak dari perang Ukraina. Biaya yang harus dibayar konsumen telah meningkat sebesar 10,5% hingga Desember tahun lalu.
Lantas, para pekerja mengharapkan Amazon untuk membayar paling kecil £15 (sekitar Rp244.000) per jam.
Seorang perwakilan pekerja, Darren Westwood, mengujar “Orang-orang mungkin mengira kami serakah,” karena menuntut upah belasan euro per jam. Namun, ia mengatakan, “Kami hanya ingin bertahan hidup. Saya ingin bisa membayar seluruh tagihan di tiap akhir pekan. Hanya itu yang kami minta.”
Namun, kepada CNBC, juru bicara Amazon Inggris mengatakan bahwa perusahaannya telah meningkatkan upah pekerjanya sebanyak 29% sejak 2018.
Terkait kenaikan biaya hidup, Amazon juga mengklaim telah memberi bantuan sekali bayar sebesar £500 (sekitar Rp8 juta) bagi tiap pekerja.
Selain masalah upah, sistem kerja Amazon dianggap mengkhawatirkan
Para pekerja perusahaan ritel online tersebut turut melakukan aksi protes lantaran kondisi lingkungan kerja Amazon Inggris yang dianggap mengkhawatirkan.
Kekhawatiran itu meliputi waktu kerja yang sangat panjang, risiko cedera yang tinggi, serta kecepatan kerja yang diklaim tak memikirkan hak pekerja.
Sampai-sampai, para pekerja gudang Amazon kesulitan untuk mencari waktu istirahat atau bahkan untuk ke toilet. Lantaran manajer mereka yang terus mengawasi dengan ketat dan bertanya jika waktu istirahat yang diambil dianggap terlalu panjang.
Hal itu juga didukung oleh sistem pengawasan berbasis teknologi dari Amazon yang dikatakan “agresif.”
“Ketika kita berhenti bekerja, mereka ingin mengetahui penyebabnya apa. Jadi jika kita (berhenti) melewati dua menit, mereka bisa melihatnya dari sistem,” ujar Garfield Hilton, salah satu pekerja pabrik yang tergabung dalam GMB Union.
Akan tetapi, menurut laporan BBC (25/1), Amazon menyatakan bahwa teknologi itu merupakan sistem, “yang mengawasi performa baik pekerja,” serta, “mengingatkan pekerja jika mereka tidak mencapai targetnya.”