Ulasan Jakarta Fashion Week 2023

Ditulis oleh Ilman Ramadhanu | Read in English

Jakarta Fashion Week (JFW) kembali hadir secara langsung setelah dua tahun diselenggarakan secara daring. Tahun ini, JFW fokus merayakan keragaman talenta Indonesia dengan memberikan panggung tidak hanya untuk para desainer legendaris, tapi juga pendatang baru seperti Tanah Lesae. Secara estetika, JFW tahun ini terasa lebih terbuka terhadap keragaman perspektif dari berbagai desainer, baik perspektif feminin dan penuh warna dari Peggy Hartanto maupun perspektif subversif dari Harry Halim. Pesan keberlanjutan juga banyak digaungkan, seperti diperlihatkan Rinda Salmun dan Sejauh Mata Memandang yang membuat koleksinya menggunakan bahan kain deadstock. Secara keseluruhan, JFW tahun ini berhasil mencerminkan wajah industri fesyen Indonesia saat ini dan masa depan.

Tanah Lesae

Di tengah euforia peragaan busana di JFW tahun ini, Tanah Lesae tampil menonjol dengan cara pagelarannya yang intim. Tiap model berjalan secara lembut diiringi alunan biola yang melankolis dan puisi romantis yang dimainkan secara bersamaan, menciptakan suasana tenang dan terasa seperti upacara pernikahan.

(Sumber:Tanah Lesae/Jakarta Fashion Week)

Acara pernikahan memang pada dasarnya merupakan sumber inspirasi utama di balik koleksi ini. Pada catatan acara dijelaskan bahwa koleksi ini terinspirasi oleh kompleksitas cinta.

Estetika Tanah Lesae yang berada di persimpangan antara maskulinitas dan romantisme menerjemahkan konsep ini dengan mengambil elemen dari gaun pengantin untuk menata kembali pakaian formal pria. Dalam salah satu tampilan, garis leher persegi yang sering terlihat pada gaun kebaya dipadukan dalam beskap hitam modern yang kemudian dipasangkan dengan rok maxi brokat. Elemen lain dari gaun kebaya, seperti renda, juga menonjol pada koleksi ini, dan dibuat menjadi berbagai macam kemeja, rok, ikat pinggang, dan kardigan.

Bagian paling menarik dari koleksi ini terletak pada detail bunga. Pada tampilan pembuka, kemeja putih asimetris dihias dengan hiasan bunga di bagian samping yang dibuat dengan teknik draping, sementara kain renda transparan dengan motif bunga digabung dengan kain lain menggunakan teknik kintsugi untuk menciptakan kemeja yang halus. Detail-detail ini membuat koleksi Tanah Lesae terasa kompleks namun terasa penuh kelembutan.

Sejauh Mata Memandang

Sejauh Mata Memandang memadukan fesyen dan gerakan sosial di JFW tahun ini. Sebelumnya, pada JFW 2020, mereka menampilkan karya-karya dengan tipografi ungkapan-ungkapan seperti “Menolak Punah” atau “Darurat Iklim”. Tahun ini, mereka menghadirkan koleksi yang meliputi gaun tea-length, rok, jubah oversized, dan kaftan yang dibuat menggunakan kain perca daur ulang berisi gambar-gambar yang mengusung pesan penyelamatan lingkungan.

(Sumber: Jakarta Fashion Week)

Meskipun jenama ini memiliki pesan yang sangat penting, koleksi Sejauh Mata Memandang memunculkan reaksi yang bertentangan. Di satu sisi, koleksi ini terasa lebih modern dibandingkan koleksi mereka sebelumnya. Kebaya diberi sentuhan kontemporer karena diubah menjadi luaran dan dipasangkan dengan bra rajutan dan celana capri renda. Pada tampilan lainnya, gaun tipis yang dilapisi dengan bra di atasnya membuat koleksi ini terlihat segar.

Namun di sisi lain, skema warna putih dan abu-abu membuat koleksi ini terasa hambar. Lalu, rangkaian mantel arsitektural ala Gareth Pugh yang ditampilkan di akhir pertunjukan memunculkan pertanyaan ke mana arah koleksi ini. Walaupun mantel tersebut memberikan sentuhan drama, rasa kemudahan yang tadinya muncul di koleksi ini tidak ditemukan pada mantel-mantel tersebut, sehingga membuatnya terasa salah tempat.

Rinda Salmun

Pada pagelaran busana Rinda Salmun, penonton diberikan masterclass dalam layering yang dengan spesifik mengacu pada tekstur, warna, dan siluet. Pertama, ia menampilkan tampilan dasarnya, yaitu kemeja, celana, gaun, dan rok yang oversized dan hadir dalam warna-warna bahari seperti putih dan biru. Kemudian, ia meningkatkan gaya tampilan tersebut dengan menambahkan lapisan macrame.

(Sumber: Jakarta Fashion Week)

Dalam koleksi ini, macrame digunakan untuk memberikan letusan warna dan tekstur ke dalam koleksi. Hal ini terlihat dari rok putih pada salah satu tampilan yang dibuat lebih menarik dengan lapisan macrame bernuansa biru. Ada pula gaun hitam sederhana yang menjadi lebih memukau dengan lapisan gaun macrame kuning neon di atasnya..

Ia juga dengan brilian menggunakan macrame untuk memberikan bentuk pada koleksi yang dipenuhi siluet boxy. Gaun halter macrame biru melapisi ansambel warna putih, menciptakan ilusi bentuk tubuh wanita. Pada tampilan lain, macrame bertindak sebagai korset yang memeluk pinggang sehingga memberikan bentuk tubuh pada kemeja oversized.

Harry Halim

Ada peragaan busana terpisah yang digelar oleh para influencer dan selebriti yang duduk di barisan depan peragaan busana Harry Halim. Tulle kuning cerah, motif macan tutul dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan korset kulit yang mereka kenakan sangat kontras dengan lokasi acara yang berwarna putih. Suasana acara tersebut sangat terasa seperti lokasi syuting film “Zoolander. Namun, itulah keindahan Harry Halim; dia memungkinkan kita berpenampilan non-konvensional.

(Sumber: Jakarta Fashion Week)

Koleksi yang ditampilkan mencerminkan apa yang dikenakan penonton: dramatis dan glamor. Blazer dan jaket dipotong sangat pendek dan diberi detail cut-out di sepanjang pinggang dan garis pinggul. Siluet pada tiap tampilannya sangat dibesar-besarkan oleh frills berukuran besar yang terus muncul di mana-mana. Apabila hal itu tetap kurang dramatis, setiap tampilan pada koleksi ini dipasangkan dengan sepasang sepatu bot platform setinggi 20 cm yang disebut Kitana.

Unsur punk juga banyak muncul pada koleksi ini. Terdapat satu tampilan hitam monokromatik dari kulit sintetis yang setiap incinya dihiasi studs metalik. Para model juga mengenakan rambut yang menentang gravitasi yang merupakan referensi pada artis punk tahun 1970-an, Soo Catwoman.

Pada catatan acara dijelaskan bahwa elemen punk tersebut dimaksudkan untuk menerjemahkan konsep koleksi, yaitu suatu kisah cinta yang menembus batas apa pun. Walaupun demikian, sangat sulit untuk memahami narasi “cinta menentang semua hal” ini jika melihat koleksi yang ditampilkan. Mungkin, narasi itu diceritakan melalui skema warnanya yang diawali dengan parade tampilan hitam yang terasa menyedihkan sebelum secara bertahap beralih ke lebih banyak warna yang memicu kegembiraan, seperti kuning neon dan ungu pastel, dan diakhiri dengan putih dan perak yang agung.

Namun, koleksi ini tetap merupakan sebuah bukti dari sudut pandang Harry Halim yang tak tertandingi sehingga menembus keseragaman dari JFW tahun ini.

Peggy Hartanto

Peggy Hartanto merayakan hari jadinya yang ke-10 dengan menghadirkan koleksi yang terinspirasi dari adegan “Waltz of the Flowers” dari film “Fantasia tahun 1940. Layaknya bibit, daun, dan bunga yang secara ajaib bergoyang mengikuti irama musik Tchaikovsky pada adegan itu, setiap model dalam pagelaran busana ini berjalan dengan anggun dalam koleksi yang berisi gaun, jumpsuit, rok mini, dan bralette yang sangat feminin dan dalam warna-warna berani yang terinspirasi dari bunga.

(Sumber: Jakarta Fashion Week)

Koleksi ini terasa sangat sophisticated, terutama pada cara pemotongan kain dan penjahitan. Namun, detail scallop khas Peggy Hartanto, yang digabungkan dengan warna-warna seperti hijau neon dan powder pink, menambahkan elemen kekanak-kanakan ke dalam koleksi ini. Mereka memasukkan detail ini ke hampir tiap potongan, di bagian depan dan belakang gaun atau di sepanjang lengan kemeja, serta ke dalam topi bucket dan kerah kemeja. Detail ini menanamkan rasa humor ke dalam koleksi yang terasa sangat elegan, sehingga menghasilkan keseimbangan sempurna antara elemen quirkiness dan keanggunan.

Menutup acara adalah dua gaun malam dengan motif lingkaran identik yang diperagakan oleh dua model yang berjalan serempak. Kesimetrisan motif dalam gaun-gaun ini sangat ajaib. Ketika kedua gaun ini muncul, lautan ponsel muncul dalam sekejap, siap untuk menangkap salah satu momen fesyen terbaik dalam minggu ini.

Aidan and Ice

Desain dari Andre Courreges, Paco Rabanne, dan Pierre Cardin tertiba terbayang setelah Nadia Tusin dan Eunice Salim, desainer di balik Aidan and Ice, mengatakan kepada pers bahwa koleksi mereka akan terinspirasi oleh retrofuturisme tahun 1960-an dan 1970-an. Mereka adalah desainer yang memelopori retrofuturisme dengan material radikal yang mereka gunakan, seperti rantai, pvc, dan plastik, serta warna-warna yang berani dan siluet aeronautika. Tanpa perlu dikatakan, rasa penasaran pun muncul.

(Sumber: Jakarta Fashion Week)

Sentuhan tahun 1960-an langsung terlihat pada koleksi ini ketika gaun shift berpayet hitam membuka pagelaran busana ditemani dengan lagu disko. Suasana pun begitu menggetarkan, tapi sayangnya sensasinya berhenti di situ. Kain payet hitam yang sama terus dimunculkan berulang-ulang, yang mungkin ditujukan untuk memancarkan energi disko yang glamor, namun kain itu dibuat menjadi crop-top atau gaun a-line yang terasa tidak imajinatif. Alur koleksi ini berubah di bagian pertengahan ketika muncul rompi dan celana pendek berwarna putih dan coklat yang dibuat dari tweed. Namun, tampilan tersebut pun terasa tidak ekspresif.

Koleksi ini terasa seperti suatu kesempatan yang terlewatkan. Terutama ketika kita mengingat titik referensi mereka yang sama sekali tidak memberikan batasan dari segi warna, siluet, dan pilihan bahan.

Namun, ada sesuatu yang begitu cerdik tentang cara mereka memasukkan perhiasan ke dalam koleksi ini. Gaun a-line berpayet hitam terlihat lebih menarik karena dipasangkan dengan kalung rantai kolosal. Ada juga blazer yang dihiasi dengan bros rantai yang menghubungi bagian lapel-nya. Pada tampilan lain, terdapat tali bahu yang dilapisi kristal berkilau yang memberikan tekstur pada gaun putih off-the-shoulder yang sederhana, sehingga menjadikannya chic dan orisinil.


Artikel terkait


Berita terkini