Kiprah industri lagu anak Indonesia kini

Ditulis oleh Ardela Nabila | Read in English

Semarak industri lagu anak di Indonesia kian meredup seiring berjalannya waktu. Anak-anak tak lagi mendengarkan lagu dengan lirik dan musik ceria yang sesuai dengan usianya.

Mereka kini cenderung mendengarkan lagu dewasa atau lagu anak-anak berbahasa Inggris yang mereka temui di Internet. Ya, pola konsumsi konten di media sosial memiliki pengaruh besar dalam hal ini.

Maka, tak heran apabila banyak anak-anak dan orang tua saat ini tak lagi bisa menjawab pertanyaan seputar lagu dan penyanyi anak masa kini.

Situasi ini bertolak belakang dengan kondisi beberapa dekade lalu. Pada akhir 1990-an sampai awal 2000-an, industri lagu anak Indonesia dapat dikatakan berada di puncak kejayaannya.

Banyak musisi cilik bermunculan, membawakan lagu-lagu bernuansa ceria dengan lirik ringan yang memuat nilai positif untuk anak-anak.

Industri lagu anak pada masa itu melahirkan sosok-sosok penyanyi anak ikonik seperti Tina Toon, Joshua, Tasya, Chikita Meidy, hingga Trio Kwek Kwek. Anak-anak kala itu tumbuh dengan lagu-lagu ringan seperti “Libur Telah Tiba”, “Diobok-obok”, dan “Katanya”–yang bahkan masih melekat di memori mereka saat ini.

Kemudian pada 2010-an, mulai terlihat pergeseran tren lagu anak seiring munculnya sejumlah boyband dan girlband remaja yang menghadirkan musik bertema dewasa, seperti Coboy Junior (CJR) dan Winxs, yang kebanyakan lagunya membahas seputar jatuh cinta.

Padahal, menurut psikolog anak dan penulis buku “Quantum Otak - 7 Rahasia Melejitkan Kecerdasan Anak” Efnie Indrianie, lagu anak seharusnya mengandung motivasi dan nilai-nilai positif.

“Seringkali kalau kita menyanyikan lagu secara berulang, otomatis menyanyikan lagu secara refleks. Setelah refleks menyanyikan lagu, kata-kata dalam lagu itu terkunci di alam pra-sadar kita. Nah, dengan kata-kata terkunci di alam pra-sadar kita, itu memengaruhi kondisi psikis kita. Itulah pentingnya lagu anak memiliki lirik yang baik. Karena ketika menanamkan value itu melalui lagu dan dinyanyikan secara berulang tanpa disadari, itu akan terserap di alam pra-sadar,” terang Efnie dikutip dari siaran pers yang diterima TFR, Kamis (25/7).

Meskipun sekarang seolah tidak memiliki penerus, namun sebenarnya tak sedikit pihak yang terus berupaya menghidupkan kembali industri lagu anak Tanah Air.

Catatan Anugerah Musik Indonesia (AMI) bahkan menunjukkan bahwa pada 2023, ada 184 lagu anak yang didaftarkan untuk ajang AMI Awards, sedangkan pada 2024 terdapat 168 lagu. Angka tersebut tentunya sangat masif, hanya saja tak beriringan dengan popularitas dan sukses komersial yang membuat industrinya tak bisa sustain.

Inisiatif baru terus bermunculan, tapi sulit bertahan

Langkah demi langkah terus dilakukan oleh pegiat musik Tanah Air untuk menggelorakan kembali industri lagu anak. Misalnya saja band pop RAN yang pada 23 Juli meluncurkan album anak “RAN For Your Kids”, bertepatan dengan Hari Anak Nasional 2024.

“Awalnya berangkat dari kegelisahan kami melihat banyaknya anak-anak yang menyanyikan lagu dengan muatan lirik dewasa. Kami rasa mungkin itu semua terjadi juga karena minimnya pilihan lagu anak-anak dewasa ini, jadi kita mencoba untuk mewadahi masalah itu,” ujar anggota RAN, Nino.

Lagu-lagu dalam album itu bahkan dilengkapi dengan video musik yang menampilkan para personel RAN dalam wujud karakter animasi dan narasi suara oleh Kak Seto. Terdapat juga versi terbaru lagu “Macet Lagi” yang identik dengan karakter Si Komo, sehingga lebih relatable dengan para orangtua.

Tentu saja album ini diharapkan dapat mengangkat kembali kemeriahan lagu anak di Indonesia, termasuk untuk para orangtua yang menjadi pintu masuk bagi anak agar mengenal lagu-lagu ini.

Sayangnya, berkaca pada inisiatif yang lebih dulu dilakukan oleh pegiat musik lain, upaya menghidupkan lagu anak-anak tak bisa langsung berjalan dengan mulus.

Sebelumnya pada 2008, band rock NAIF meluncurkan album bertajuk “BonBinBen” yang berisi delapan lagu anak untuk menutupi kurangnya hiburan bagi anak-anak. Penyanyi legendaris Titiek Puspa pun menggagas grup vokal remaja Duta Cinta pada 2014.

Ada pula Erwin Gutawa yang membentuk kolektif Di Atas Rata-Rata untuk mengumpulkan anak-anak berbakat musik di Indonesia. Kemudian pada 2022, grup musik Mocca bersama eks vokalis NAIF David Bayu merilis lagu anak-anak “Easy Like 1-2-3” dengan tujuan agar anak memiliki hiburannya sendiri.

Selain musisi senior yang prihatin dengan kondisi industri lagu anak, sempat muncul pula gerakan “Save Lagu Anak” pada 2016 yang digagas oleh sederet mantan penyanyi cilik.

Kendati upaya terus dilakukan, dunia lagu anak masih cenderung lesu dan jarang terdengar jika dibandingkan dengan perkembangan pesat industri musik lokal yang berfokus pada lagu-lagu dewasa.

Nama-nama seperti Quinn Salman, Neona, dan Arsy Hermansyah pun masih meramaikan sektor lagu anak beberapa tahun belakangan ini. Hanya saja, lagu-lagu penyanyi cilik masa kini kurang dilirik, sebab kebanyakan orangtua lebih memilih memutar lagu anak berbahasa Inggris.

Efnie mengatakan, lagu-lagu tersebut bisa saja menggantikan lagu anak dalam bahasa Indonesia, dengan catatan anak tersebut memang memahami lirik lagunya. Jika tidak, maka pesan yang termuat di dalam lagu tak akan sampai ke anak.

“Kalau anaknya bilingual mungkin dia akan sedikit menangkap artinya. Tetapi jika anak itu monolingual, atau bilingual bukan native, misal anak bisa bahasa Jawa dan Indonesia, atau Sunda dan Indonesia, yang akan diserap anak nadanya saja. Tidak menyerap esensi dan meaning dari lagu itu karena tidak paham,” katanya.

Menurut pengamat musik David Tarigan, popularitas lagu anak sebenarnya sangat bergantung pada hook lagu dan mekanisme serta distribusi pemasaran lagu tersebut.

“Kalau ingin membuat lagu anak, penting membuat hook yang nyangkut di kepala anak. Hal yang mudah diingat. Jika memang sudah sesuai dan ada eksposur, bisa saja jadi populer. Tetapi, dalam masa sekarang apakah mungkin pebisnis atau pengusaha rela mengeluarkan modal atau investasi untuk lagu anak?” ucap David menyayangkan.

Dibutuhkan semangat kolektif berbagai pihak

Meluncurkan lagu anak terbaru sudah. Menghadirkan talenta-talenta anak sudah. Mengangkat kembali karakter ikonik agar relatable dengan para orangtua pun sudah dilakukan. Lantas, usaha apa lagi yang perlu dilakukan oleh para pegiat musik Tanah Air?

David mengatakan, upaya mendongkrak kembali popularitas dan tren lagu anak di kancah musik secara umum perlu dilakukan secara bersama-sama oleh berbagai pihak, termasuk para musisi dewasa yang memiliki inisiatif meluncurkan lagu anak.

Beriringan dengan itu, diperlukan pula regenerasi penyanyi anak. Kolaborasi dengan musisi mapan bisa dilakukan sebagai langkah awal mengangkat nama-nama penyanyi anak baru yang berpotensi menjadi penerus, sebagaimana dilakukan RAN dalam proyek “RAN For Your Kids”.

Mereka melibatkan talenta anak Velyn Elsa, Khayla Khay, dan Achmad Barakha untuk mendukung bakat anak Indonesia di bidang musik. Menariknya, ketiganya dipilih melalui serangkaian proses seleksi.

“Untuk membuat industri lagu anak semarak lagi tidak bisa datang dari satu pihak saja, kalau ada inisiatif yang kolektif, ramai-ramai kembali meramaikan lagu anak dengan disadari secara sengaja atau tidak. Itu mungkin menarik,” tutup David.



Artikel terkait


Berita terkini