Bagaimana film bisu ‘berdialog’ di era modern?

Ditulis oleh Rahma Yulita | Read in English

Jauh sebelum perfilman dalam negeri menjadi seperti sekarang, pada 1926, film bisu Indonesia pertama dirilis.

Berjudul “Loetoeng Kasaroeng”, film yang disutradarai George Krugers, seorang keturunan Jawa-Belanda, itu pun menjadi tolok ukur bagi pemerintah pada saat itu dalam mengembangkan seni perfilman di Hindia-Belanda.

Kala itu, antusiasme masyarakat dengan industri perfilman sangat tinggi, beriringan dengan masuknya film Hollywood ke Hindia-Belanda sejak abad ke-19.

Film bisu mungkin terdengar cukup asing saat ini. Namun, bagi orang-orang yang mencintai sinema pada tahun 1800-an, film bisu merupakan hiburan baru.

Penemuan baru saat itu melahirkan inovasi menarik di industri film. Didorong oleh meningkatnya minat publik yang menghasilkan keuntungan besar, industri film pun menyebarkan pengaruhnya dengan terus menawarkan hal baru.

Periode 1895-1906 menjadi era film bisu menciptakan fondasi kuat bagi pembentukan studio film yang kita lihat hari ini, serta memperkenalkan bintang-bintang yang namanya kemudian mendunia.

Pembuatan film bisu saat itu masih dilakukan dengan teknologi seadanya, seperti difilmkan dalam satu pengambilan gambar dengan kamera tetap. Selain itu, proses produksi seringkali hanya dilakukan oleh satu orang dan beberapa asisten. Durasinya pun cukup singkat, biasanya hanya dalam hitungan menit.

Sama seperti banyak hal lainnya yang sempat menikmati masa kejayaan, popularitas film bisu kemudian meredup dengan semakin berkembangnya teknologi perfilman. Berbagai genre bermunculan dan mewarnai sinema Indonesia.

Namun, meski terlihat ‘jadul’, film bisu masih terus menginspirasi sutradara masa kini. Salah satunya sutradara Prancis Michel Hazanavicius ketika membuat “The Artist” (2011).

I watched a lot of silent movies. It’s a very specific way of writing, which is more of a challenge than the directing. You have to describe images. It’s easier to shoot them,” katanya dalam wawancara dengan IndieWire pada 2011.

A lot of people think of silent movies as just clowns doing slapstick. It’s difficult to have them think of it as another way to tell the story,” tambahnya.

Samsara” membangkitkan film bisu dengan warna baru

2024 dapat dibilang sebagai tahun industri film Tanah Air unjuk gigi. Banyaknya film-film membanggakan lahir dan mengembalikan minat masyarakat terhadap industri ini. Lagi-lagi, film bisu menginspirasi sutradara masa kini dan menjadi salah satu jenis film yang bangkit setelah lama redup.

Pecinta perfilman Indonesia mungkin tak asing dengan “Samsara”, film bisu yang dikemas dengan sentuhan elemen masa lalu dan modern, menciptakan perpaduan futuristik yang membuat film ini menarik perhatian.

Film bisu garapan sutradara Garin Nugroho dan diproduseri Gita Fara ini mengusung konsep hitam putih, menampilkan nama besar seperti Juliet Widyasari Burnett dan Ario Bayu sebagai pemeran utamanya. Ceritanya menggabungkan percintaan dan praktik pesugihan dengan latar mitologi Bali.

Salah satu hal yang sangat menarik dari “Samsara” adalah bagaimana film bisu hitam putih ini menghadirkan warna baru dengan menampilkan perpaduan musik gamelan dan musik elektronik.

Hal ini menjadi daya tarik utama, mengingat musik merupakan elemen yang sangat penting untuk menghidupkan film bisu karena musik berperan sebagai storytelling dan ‘dialog’-nya.

“Musik [dalam film bisu] berperan sebagai nilai-nilai drama dan sekaligus menjadi sesuatu yang membangun atmosfir di film itu. Jadi, dalam film bisu, peran musik sangat luar biasa dan itu sama besarnya dengan perannya Ario Bayu yang tanpa dialog. Gambar dan musik seperti mata uang yang bagian kanan kirinya itu sama-sama pentingnya di film bisu,” terang sang sutradara ketika bertemu TFR pada 2024 lalu.

Perpaduan musik dalam “Samsara” tidak terlepas dari peran para komposernya, Kasimyn dari Gabber Modus Operandi dan I Wayan Sudirana, yang dengan cerdas memadukan musik gamelan dan musik elektronik sebagai ‘dialog’ utama dalam film ini.

I Wayan Sudirana menganggap “Samsara” merupakan peluang yang sangat baik. “Pada saat ditawari kolaborasi gamelan dan elektronik, ini merupakan sebuah peluang yang harus saya manfaatkan dengan serius untuk bisa membuat visi tentang bagaimana masa depan musik gamelan, salah satunya berkat ‘Samsara’ ini,” ujarnya.

Meski “Samsara” dikemas dengan hitam putih dengan latar 1930-an, Kasimyn ingin membuat film tersebut seperti berada di masa depan. Ia tidak ingin dianggap hanya membawakan komposisi klasik, tetapi juga komposisi baru yang segar di era modern ini.

“Kita juga nge-treat-nya sebagai science-fiction. Ada memang komposisi klasiknya, seperti waktu menikah, ya,” tegas Kasimyn.

Ia menambahkan, “Tapi, ada titik ketika kita coba ngejembrengin apa yang bisa dilakukan gamelan, apa yang bisa dilakukan elektronik, dan apa yang bisa dilakukan vokalis. Pendekatannya sangat science-fiction.”

Menurut Garin, kolaborasi musik yang dihadirkan dalam “Samsara” memberikan warna baru baik untuk perfilman maupun musik Indonesia. Pasalnya, masih ada stereotip tentang gamelan yang dianggap tidak bisa mengiringi film.

“Padahal gamelan sendiri dalam warisan budaya mengiringi lakon, mengiringi drama, dan lainnya. Tapi pertanyaannya ‘Bisa tidak ya gamelan mengiringi kehidupan kontemporer?’ Ya bisa, kenapa tidak? Stereotipnya membuat gamelan seakan tidak bisa hidup di industri film, sedangkan industri film kita sedang besar-besarnya, masa kita nggak punya ruang untuk inovasi?”

Dihadirkan dalam format cine-concert

Samsara” juga menarik perhatian dengan dikemas dalam bentuk cine-concert, yang mengajak penonton menyaksikan film berdurasi 1,5 jam itu di layar, namun diiringi dengan pertunjukan musik gamelan dan elektronik secara langsung.

Pertunjukan cine-concertSamsara” pun tak hanya dimainkan di Indonesia saja, tetapi juga di negara lain seperti Singapura dan Australia, yang sukses ditonton oleh ribuan penonton. Bahkan, tiket pembukaannya pada acara Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) terjual habis dalam waktu singkat.

Kesuksesan ini pun mengantar “Samsara” meraih 4 penghargaan Piala Citra di Festival Film Indonesia 2024 untuk kategori Best Costume Design, Best Music, Best Cinematography, dan Best Director.

Pencapaian “Samsara” yang mungkin tidak dibayangkan sebelumnya ini tentunya memberikan angin segar untuk film bisu Tanah Air yang sempat menghilang.

Kini, pertanyaannya, apakah film bisu akan lahir kembali menjadi tren baru di masa depan?


Artikel terkait


Berita terkini