Industri teater musikal Indonesia kembali bangkit, tapi…

Ditulis oleh Ardela Nabila dan Elma Adisya | Read in English

Di tengah kesibukannya menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, Desmonda Cathabel konsisten meluangkan waktunya merintis karier di dunia teater musikal Indonesia.

Sebelum terpilih memerankan tokoh Jasmine dalam pentas musikal “Aladdin” di Inggris dan Irlandia pada 2023, Monda, yang menempuh pendidikan di Royal Academy of Music di Inggris, telah malang-melintang dari satu komunitas teater ke komunitas lainnya sejak 2014.

Berangkat dari kecintaannya terhadap teater musikal, Monda akhirnya memberanikan diri terjun ke dunia itu hingga menjadi salah satu pendiri Jakarta Performing Arts Community (JPAC) dan aktris teater profesional.

Desmonda Cathabel | Sumber: JPAC

“Aku cukup bangga karena bisa melihat progres teater musikal di Indonesia. Sejak aku masuk ke dalam industrinya dan mendirikan JPAC, sudah mulai banyak komunitas-komunitas dan perusahaan baru, proyek musikal, juga talenta-talenta baru. Benar-benar ada generasi baru di teater musikal,” ujar Monda dalam wawancara bersama TFR beberapa waktu lalu.

Di negara seperti di Inggris, seni pertunjukan seperti drama musikal merupakan bagian kental dari kebudayaan masyarakat yang tak dapat dipisahkan.

Mengunjungi gelanggang terbuka untuk mencari hiburan lewat pertunjukan seni merupakan hal biasa. Kebiasaan ini turut didukung oleh masifnya perkembangan infrastruktur industri teater di sana oleh pemerintah setempat.

Di Indonesia, seni pertunjukan sebenarnya sudah eksis sejak ratusan tahun lalu. Lenong dari Betawi, misalnya, diyakini sudah ada sejak awal abad ke-20. Ada pula randai dari Sumatera Barat, ludruk dari Jawa Timur, serta makyong dari Riau yang pada masanya tak kalah beken dari pertunjukan di panggung megah nan gemerlap seperti saat ini.

Kendati popularitas seni pertunjukan tradisional telah redup, namun industri teater Tanah Air belakangan tengah bangkit selaras dengan kehadiran pementasan berbagai adaptasi film, mulai dari Legally Blonde” persembahan JPAC pada akhir 2023 lalu hingga “Joshua Oh Joshua yang berlangsung baru-baru ini.

Ramai peminat, tapi fasilitas belum mumpuni

Musikal Petualangan Sherina” menjadi salah satu judul pementasan yang berhasil menjual ludes tiket dalam 18 kali penyelenggaraannya. “Keluarga Cemara” yang juga diangkat dari film dan akan berlangsung hingga 14 Juli mendatang pun berhasil menjual habis tiket hari pertamanya.

Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat Indonesia terhadap pertunjukan teater musikal, khususnya yang diadaptasi dari judul-judul ternama. Sayangnya, perkembangan tren ini tidak diikuti oleh peningkatan infrastruktur yang memadai.

Berbeda dengan Inggris yang memiliki berbagai rentang harga tiket, di Indonesia tiket teater musikal masih cenderung mahal. Kurangnya dukungan infrastruktur berimbas pada bengkaknya biaya produksi secara keseluruhan.

“Di Indonesia itu menurutku sangat kekurangan gedung teater yang bisa menyesuaikan jumlah penonton agar tiket tidak mahal dan tetap menguntungkan tim produksi. Di Inggris itu yang bikin setiap produksi percaya diri bisa menjual habis tiketnya karena tidak semua teater berukuran besar, tapi (ukuran) medium pun ada,” jelas Monda.

Presiden JPAC Rio Rahmansyah mengatakan hal senada. Ia mengungkapkan keresahannya terkait harga sewa tempat yang dinilai kurang bersahabat untuk produksi teater musikal berskala medium.

Rio Rahmansyah | Sumber: JPAC

“Tantangan terbesar itu terkait infrastruktur, karena pilihan untuk venue sedikit dan jadinya rebutan. Padahal untuk infrastruktur seperti venue dan tempat latihan itu kita sangat bergantung dari subsidi pemerintah. Tapi sayangnya venue yang dibantu pemerintah ini jumlahnya tidak banyak,” katanya.

Untuk menghadirkan pengalaman teater musikal terbaik bagi penonton tak hanya dibutuhkan ruangan yang dapat menampung banyak penonton. Banyak variabel lain, dari kualitas suara hingga pencahayaan, yang juga perlu diperhatikan dan memakan biaya tak sedikit.

Tantangan juga datang dari penonton

Komunitas dan penyelenggara teater musikal seperti JPAC tampaknya masih harus melewati perjalanan panjang untuk menghilangkan miskonsepsi terkait pertunjukan seni di kalangan masyarakat awam.

Meskipun mulai banyak yang ‘melek’ tentang hal ini, Rio menyayangkan bahwa masih ada stigma di kalangan orang yang mencari hiburan ke pusat kesenian.

“PR kita adalah untuk menunjukkan bahwa pertunjukan musikal live seperti ini merupakan bentuk hiburan selain nonton bioskop. Padahal ada banyak sekali judul bagus yang dipentaskan. Jadi mimpi kita di Jakarta adalah orang bisa menjadikan pertunjukan itu hiburan sehari-hari, bahwa mereka bisa menghabiskan waktu menyaksikan pertunjukan tanpa adanya miskonsepsi,” ungkapnya.

Upaya agar lebih banyak orang terpapar dengan teater musikal tak henti-hentinya dilakukan oleh Rio dan kawan-kawannya. Salah satunya dengan menghadirkan pertunjukan yang relatable dengan kehidupan sehari-hari.

Ia melanjutkan, “Kita juga memanfaatkan media sosial, baik ketika audisi maupun marketing, seperti challenge di TikTok. Kita juga gencar menggandeng KOL (key opinion leader) untuk bekerja sama. Kami di JPAC sangat berusaha menjadikan tontonan itu affordable untuk semua agar bisa menyasar semua lapisan masyarakat.”

Sinergi lintas-industri juga tak kalah esensial untuk mendukung ekosistem teater musikal Tanah Air sekaligus memperkuat berbagai elemen yang terlibat. Pasalnya, tak bisa dipungkiri bahwa produksi teater melibatkan lebih dari sekadar aktor di atas panggung.

“Yang di belakang panggung itu punya peran penting juga. Dari segi produksi internal kita beberapa tahun ke belakang itu gampang menemukan pemain baru, tapi untuk kru itu cukup sulit dan jarang. Biasanya orangnya itu-itu saja. Jadi kolaborasi lintas-industri seperti kru makeup, kostum, sampai audio ini perlu selain untuk menekan cost, mereka juga bisa menampilkan produk atau kreasinya,” kata Rio.

Monda mengatakan hal sama. Menurutnya, masih banyak variabel yang perlu dibenahi apabila Indonesia ingin memiliki ekosistem teater musikal yang maju dan berkelanjutan.

Dibutuhkan pula dukungan dari pihak di luar pemerintahan berupa pendanaan yang dapat membantu menutupi biaya produksi.

“Antusiasmenya ada, talentanya ada, tapi funding dan infrastrukturnya zero, jadi susah untuk sustainable dan orang-orang tidak bisa make a living out of it. Jadi kita harus banget di-boost sama funding, baik dari pemerintah dan perorangan yang memang ingin berkontribusi. Tentunya yang harus dikencangkan juga itu the investment di pendidikan karena sejauh ini teater hanya bagian dari ekstrakulikuler dan bukan kurikulum seni,” tutup Monda.


Artikel terkait


Berita terkini