Ketika artis dan manajemen berpisah: Siapa yang punya hak atas brand-nya?

Ditulis oleh Rahma Yulita | Read in English

Artis dan manajemennya bagaikan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya memiliki keperluan yang saling menguntungkan, seperti menjunjung tinggi istilah “simbiosis mutualisme”.

Drama Korea “Record of Youth” (2020) yang dibintangi Park Bo-gum menceritakan kehidupan seorang aktor yang diperlakukan tidak baik oleh manajemennya, sehingga mudah menjadi sasaran media.

Drama tersebut menjadi cerminan sedikit dari banyak hal yang terjadi antara artis dan manajemennya, mengingat hubungan antara artis dan manajemennya terasa sangat abu-abu, karena hanya terjadi di belakang layar.

Namun, ada kalanya hubungan ini mencuat ke permukaan dan menarik perhatian banyak orang, baik penggemar maupun non-penggemar, ketika terjadi skandal atau masalah terkait kontrak.

Belajar dari kisah idol K-pop yang “berpisah” dengan agensinya

Pada 2009, industri K-pop dihebohkan dengan tiga anggota TVXQ, Jaejoong, Yoochun, dan Junsu, yang mengajukan pemutusan kontrak dengan SM Entertainment karena mengaku mengalami mistreatment.

Setelah mengajukan gugatan, ketiganya kemudian membentuk grup baru bernama JYJ. Sayangnya, JYJ bagaikan di-ban di acara musik. Bahkan, KBS terang-terangan mengatakan bahwa mereka tidak mau menampilkan artis yang sedang terlibat dalam proses hukum.

Bahkan, Junsu mengatakan ia kesulitan mendapat kesempatan tampil di TV karena termasuk dalam “cultural blacklist”.

Hal ini kemudian mendorong terbentuknya “JYJ Law”, usulan amandemen terhadap undang-undang penyiaran Korea Selatan yang mencegah pihak ketiga mem-blacklist individu atau grup tertentu untuk tampil di televisi. Usulan itu disahkan oleh National Assembly pada 2015.

Jika JYJ kesulitan tampil di televisi, lain halnya dengan grup B2ST (sekarang HIGHLIGHT). Ketika memutuskan untuk berpisah dengan agensinya, CUBE Entertainment, pada 2016, B2ST tidak bisa menggunakan nama tersebut karena telah terdaftar sebagai merek dagang milik CUBE.

Meski telah menggunakan nama tersebut selama kurang lebih tujuh tahun, kelima anggota B2ST, Gikwang, Doojoon, Yoseob, Dongwoon, dan Junhyung, terpaksa harus merelakannya dan menggunakan nama baru untuk kembali debut di bawah agensi yang mereka dirikan sendiri, Around Us Entertainment, sebagai HIGHLIGHT.

Grup besutan SM Entertainment, SHINee, juga baru saja melewati masa akhir dari perpanjangan kontraknya. Keempat anggota, Key, Onew, Minho, dan Taemin, memutuskan untuk kembali memperpanjang kontrak mereka dengan SM untuk yang ketiga kalinya.

Meski banyak penggemar yang merasa terharu, ada pula yang tidak setuju dengan keputusan ini. Key menyatakan bahwa ini merupakan langkah yang diambil agar SHINee bisa terus bersama. Ia bahkan mengatakan, “Even if we leave, we’ll leave together.”

Apakah mereka akan kehilangan nama SHINee juga kalau memutuskan berpisah dengan SM?

Taylor Swift merilis “Taylor’s Version” untuk mendapatkan kembali lagu-lagunya

Mari tengok industri musik pop Barat yang tidak kalah menarik dengan K-pop. Apalagi dengan kehadiran “Taylor’s Version”, di mana Taylor Swift merekam ulang dan merilis kembali lagu-lagu di album lamanya.

Siapa sangka bahwa strategi ini justru semakin membuatnya terkenal? Bahkan, hampir semua penggemarnya menunggu versi album lainnya untuk dirilis di “Taylor’s Version”. Tapi, kenapa Taylor Swift melakukan ini?

Ketika kontrak Taylor Swift dengan Big Machine Records berakhir pada 2018 dan beralih ke label Republic Records milik Universal, Big Machine memiliki master (rekaman asli) dari enam album pertamanya.

17 bulan setelah Ithaca Holdings LLC milik Scooter Braun mengakuisisi Big Machine Label Group dan semua aset rekaman musiknya, ia menjual hak master atas enam album pertama Taylor Swift dengan keuntungan mencapai $450 juta (sekitar Rp6.9 triliun).

Pada 2021, Taylor merilis “Taylor’s Version” sebagai bentuk perjuangannya untuk mendapatkan kembali haknya atas lagu-lagu ciptaannya. Hingga saat ini, Taylor telah merilis empat “Taylor’s Version”, yaitu untuk album “Fearless”, “Red”, “Speak Now”, dan “1989”.

Menariknya, kesuksesan perilisan kembali ini menarik perhatian label musik yang merasa sedikit “terancam”. Melansir The Independent, sejumlah pengacara musik ternama mengatakan bahwa label rekaman besar telah mengubah kontrak untuk artis baru.

Dalam hal perekaman ulang, biasanya artis harus menunggu lima hingga tujuh tahun setelah lagu tersebut dirilis, atau dua tahun setelah kontrak mereka berakhir, untuk bisa membuat ulang album mereka.

Namun, di kontrak baru tersebut tertulis bahwa penyanyi harus setuju untuk tidak merekam ulang album mereka hingga 10-30 tahun setelah kontrak mereka berakhir dengan label itu.

Karena itu, banyak yang mengatakan bahwa aturan di kontrak baru itu merupakan efek “Taylor’s Version”.

Jika artis berpisah dengan manajemen, siapa yang berhak atas brand-nya?

Konsep dasar perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) selalu mengikuti pemiliknya. Hal unik dalam HKI adalah hak tersebut dapat beralih atau dialihkan kepada siapa saja yang dikehendaki oleh pemiliknya–berdasarkan syarat-syarat yang sah, salah satunya perjanjian.

Contohnya, dalam hak cipta, pencipta dapat mengalihkan hak ekonominya kepada pihak ketiga melalui perjanjian selama jangka waktu tertentu, sehingga pihak ketiga tersebut dapat memperoleh keuntungan dari ciptanya.

Selain dapat dialihkan, HKI juga dapat dimiliki oleh beberapa orang sekaligus. Kepemilikan oleh beberapa orang ini dikenal dengan istilah hak kolektif. Namun, entah dimiliki oleh satu atau beberapa orang, hal ini harus dituliskan secara jelas dalam perjanjian agar hak setiap orang dapat terlindungi.

Salah satu contoh kasus, mantan anggota band The Groove, Rieka Roslan, melayangkan surat permintaan larangan kepada The Groove untuk menyanyikan lagu-lagu ciptaannya. Pasalnya, Rieka dan The Groove sudah tak lagi berada di bawah naungan manajemen yang sama. Hal tersebut ia lakukan agar mampu mendapatkan hak eksklusif atas lagu-lagu yang ia tulis.

Larangan tersebut disampaikan ke Wahana Musik Indonesia (WMI) sebagai lembaga manajemen kolektif yang menaunginya. Tak lama setelah itu, Rieka mengikuti audiensi mengenai royalti di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama musisi lain seperti Piyu Padi dan Ahmad Dhani.

Dalam dunia hiburan, umumnya konsep perlindungan HKI menjadi lebih kompleks dan unik karena bisa dimiliki beberapa orang sekaligus.

Jadi, jika pertanyaannya siapa yang berhak atas brand ketika kerjasama manajemen dan artis berakhir, kita harus menilik isi perjanjiannya.



Artikel terkait


Berita terkini