New level unlocked: Industri gaming dan kiprah masifnya di sektor kreatif
Ditulis oleh Rahma Yulita | Read in English
Perkembangan industri gaming saat ini sudah semakin pesat. Bahkan, kehadirannya tak lagi hanya sebagai hiburan, melainkan bisa membantu mengembangkan berbagai profesi, seperti pengembang, profesional IT, animator, dan musisi. Peminatnya yang semakin meningkat semenjak pandemi COVID-19 pun membuat banyak pengembang merilis game-nya pada masa itu.
Tak hanya itu, peluang perkembangannya juga sampai ke budaya arus utama, di mana banyak game yang berkolaborasi dengan jenama ternama. Contohnya adalah kolaborasi antara Marc Jacobs dan Valentino di “Animal Crossing” dan Balenciaga dengan game “Fortnite” pada 2021.
Selain bersinggungan dengan budaya arus utama, perkembangan game juga banyak menyentuh industri perfilman. Bahkan, Indonesia pun pernah membuat film dari game, yaitu “Pamali” yang diadaptasi dari salah satu game lokal terbaik, “Pamali: Indonesian Folklore Horror” yang dibuat oleh pengembang game lokal StoryTale Studios.
Pesatnya perkembangan industri gaming saat ini
Memangnya, sebanyak apa pemain game sampai-sampai membuat perkembangan industrinya menjadi semakin pesat? Ternyata, ada lebih dari dua miliar gamer di seluruh dunia, yang setara dengan 26% dari populasi dunia.
Indonesia menduduki peringkat ke-16 dunia dan merupakan negara dengan pasar game terbesar di Asia Tenggara. Pada akhir 2021, penjualan industri gaming Indonesia mencapai $1,92 miliar atau sekitar Rp28 triliun. Data ini juga menyebutkan bahwa rata-rata jumlah jam/minggu yang dihabiskan untuk bermain video game per Januari 2021 di Indonesia mencapai 8,54 jam, sedangkan rata-rata global adalah 8,45 jam.
Indonesia bahkan disebut tak hanya menjadi pasar game, tetapi juga berpeluang untuk menjadi pemain utama dalam industri gaming. Google mencatat bahwa Google Play adalah “rumah” bagi lebih dari 10 ribu pengembang game asal Indonesia, dengan lebih dari 150 juta orang Indonesia yang mencari aplikasi dan game setiap bulannya di Google Play.
Kehadiran content creator gaming dan ragamnya
Di Indonesia, kehadiran content creator gaming sudah bukan hal yang asing. Nama-nama seperti Reza Arap, Windah Basudara, dan MiawAug pun dikenal karena menjadi streamer game yang menyajikan konten permainan game dengan pembawaan sesuai dengan personanya masing-masing.
Pengaruh mereka cukup kental di industri gaming. Contohnya, Windah Basudara yang banyak diidolakan oleh anak-anak hingga orang dewasa. Kesuksesannya menjadi content creator gaming membuatnya terpilih menjadi salah satu brand ambassador untuk tim esports yang baru saja mewakili Indonesia bertanding di kejuaraan dunia M World Championship, RRQ Hoshi.
Menurut Dito Wangsa, founder Anak Tua, sebuah media gaming di Indonesia, content creator di industri gaming terbagi menjadi dua tipe. “Ada content creator gaming yang khusus untuk tujuan entertainment, membawakan konten bermain game yang sifatnya hiburan untuk orang lain. Lalu ada juga content creator gaming sebagai media untuk edukasi. Isinya adalah review, preview, first impression, dan arahan untuk audiens sebelum membeli sebuah game,” jelasnya.
Lalu, apa peran mereka dalam perkembangan industri gaming bagi komunitasnya? Dito menjelaskan, mereka memiliki peran berbeda. Konten yang menyediakan hiburan biasanya akan diminati oleh audiens yang ingin melihat sebuah game dimainkan oleh content creator tersebut sampai selesai. Karena itu, probabilitas audiens akan membeli game-nya juga tidak terlalu tinggi.
Sedangkan konten dari media yang sifatnya untuk edukasi, seperti kanal YouTube Anak Tua miliknya, menargetkan audiens yang memang ingin membeli game tersebut. Ia menambahkan, “Karena game original itu harganya terbilang cukup tinggi, range-nya dari Rp400 ribu hingga jutaan. Harga yang relatif mahal ini membuat orang-orang jadi punya kebutuhan untuk menonton review terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membeli game-nya.”
Menurut Dito, keduanya sama-sama memberikan eksposur yang dapat membantu industri game untuk berkembang. Namun, dirinya menegaskan bahwa ada perbedaan output dari eksposur yang dihasilkan oleh dua tipe content creator gaming tersebut.
“Eksposur yang lebih besar mungkin akan ada di content creator gaming yang tujuannya untuk hiburan, karena audiensnya sangat luas, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa juga. Tapi, kalau berbicara conversion to sale-nya, eksposur dari media [yang fokusnya untuk review dan preview] akan lebih kuat,” jelasnya.
Adaptasi game ke film
Tak hanya itu, meleburnya industri game dan industri kreatif, khususnya perfilman, juga semakin terlihat dengan banyaknya game yang diadaptasi ke film maupun serial. Mulai dari “Sonic The Hedgehog”, “Mortal Kombat”, “The Witcher”, “Uncharted”, dan “Arcane: League of Legends” hingga yang baru-baru ini selalu menjadi trending dan topik hangat di media sosial, “The Last of Us”. Indonesia pun tidak ketinggalan, seperti film “Pamali” yang disinggung sebelumnya.
Melihat kesuksesan proyek-proyek ini, tentu hubungan antara industri gaming dan industri kreatif semakin kuat. Pasalnya, tak hanya menguntungkan bagi para pengembang dan publisher game saja, adaptasi tersebut juga telah memberikan banyak kesempatan berkarya untuk berbagai pihak, mulai dari sutradara film, musisi yang membuat lagu latar original, penulis naskah dan aktor, hingga animator.
Melansir Parrot Analytics, game memang masih dipandang sebagai subjek khusus bagi pembuat film, yang menyebabkan adanya tekanan ketika mereka ingin mengadaptasi cerita dan karakter game menjadi sebuah film atau serial. Namun, ketika berbicara tentang audiens, adaptasi game justru banyak menarik minat generasi Z dan milenial yang sedang berada di usia produktif saat ini.
Bahkan, generasi Z dan milenial menjadi penonton mayoritas untuk beberapa adaptasi game dan live-action terbaru. Dari sini, Dito berpendapat bahwa perkembangan industri gaming sudah semakin “gila”. Menurutnya, industri gaming telah menjadi “payung” untuk industri lainnya, khususnya industri kreatif.
“Industri game zaman sekarang udah gokil banget. Dibandingkan industri entertainment lainnya, sekarang game yang paling tinggi secara pemasukan dan perputaran uangnya. Banyak banget artis-artis juga yang akhirnya masuk ke sini. Contohnya kayak “The Witcher”, game dari Polandia yang terkenal banget. Akhirnya booming dan dibikinin serial di Netflix dengan pemain yang tidak kaleng-kaleng, Henry Cavill. Dari sini terlihat gimana industri game bisa ngidupin industri lainnya. Ada musik di situ, ada adaptasi filmnya juga. Jadi kalau ditanya industri game gimana sekarang, gokil banget,” tutupnya.
Proyeksi perkembangan game di masa depan
Perkembangan komunitas game perlahan memopulerkan cabang olahraga esports. Melansir Forbes, competitive scene seperti esports telah berkembang dan membuat game hadir sebagai produk serta suvenir, dan mulai bersaing di ekosistem konten kreatif yang didorong oleh para pemain game profesional yang masuk ke dunia hiburan di platform YouTube maupun Twitch sebagai streamer.
Hal ini membuat esports diperkirakan akan semakin menjanjikan seiring dengan perkembangan industri game di masa mendatang. Selain memiliki daya saing, ada banyak perputaran uang yang terlibat dalam suatu turnamen esports, sehingga para pemain profesional dapat menghasilkan uang sembari memberikan hiburan kepada penonton.
Dengan berkembangnya esports, artinya akan ada kebutuhan pemain yang meningkat juga, baik pemain laki-laki maupun perempuan. Meski para pemain perempuan sudah mulai banyak mengisi competitive scene, namun hal ini masih tidak mengingkari fakta bahwa peran perempuan di industri game masih sangat minim.
Contohnya adalah masih banyaknya stereotip gender dalam video game hingga studi yang menyebutkan bahwa 84% posisi eksekutif di industri gaming masih dipegang oleh laki-laki. Karena itu, perkembangan game diharapkan akan membawa inklusivitas yang semakin berkembang juga untuk setiap pemain maupun penikmatnya.