Estetika baru: Modernisasi pakaian tradisional Indonesia
Ditulis oleh Ilman Ramadhanu | Read in English
Kemunculan suatu gaya seringkali dipengaruhi oleh lanskap budaya di mana gaya tersebut berasal. Misalnya, gaya fesyen Paris yang bertumpu pada keindahan dan craftsmanship memiliki hubungan dengan praktik adibusana yang telah ada di kota tersebut sejak 1700-an. Sementara gaya di London tampak lebih tidak konvensional karena dipengaruhi oleh sejarah kota tersebut sebagai tempat kelahiran punk.
Kota-kota ini memiliki gaya berbeda yang mewakili keunikan sejarah dan tradisinya masing-masing. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sebagai bangsa yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang berbeda-beda, bagaimana pengaruh tradisi tersebut terhadap gaya fesyen kita?
Hal ini adalah ide yang mulai dieksplorasi oleh banyak label dan desainer fesyen Indonesia. Ini dapat kita lihat pada Jakarta Fashion Week 2023 tahun lalu di mana Kraton, Jumpanona, Wilsen Willim, Sejauh Mata Memandang dan lainnya mengambil inspirasi dari baju-baju tradisional Indonesia dan memberikannya sentuhan modern dengan harapan dapat menciptakan gaya Indonesia modern yang menyatukan masa lalu dan masa depan.
Membawa daya tarik universal untuk pakaian tradisional Indonesia
“Ada dua hal yang mau kita lakukan, yaitu memodernisasi adat dan juga menciptakan suatu estetika yang baru untuk contemporary fashion Indonesia,” kata Auguste Soesastro, desainer di balik Kraton, kepada TFR News.
Hal ini adalah misi Kraton sejak berdiri 15 tahun yang lalu. Dalam prosesnya, ia mengambil unsur-unsur dari pakaian tradisional Indonesia dan mengenalkannya pada fesyen kontemporer. Apa yang bisa dianggap kontemporer berbeda antara masing-masing desainer, tetapi berkat latar belakang adibusana-nya, bagi Auguste kontemporer adalah semua tentang craftsmanship yang sempurna dan siluet yang rapi.
Ini terlihat pada koleksi co-ed Kraton terbaru bertajuk “Evolution of Heritage Garment” yang merupakan paduan antara keanggunan evening wear Barat yang klasik dan keindahan ansambel Jawa.
Dalam salah satu tampilan, terlihat atasan peplum berleher tinggi yang dipadukan dengan rok batik yang pas di badan. Ada juga jas opera yang terbuat dari kain perca batik dengan hemline yang dibuat sedemikian rupa sehingga jatuh ke lantai dengan elegan. Sebuah twist pada ide pakaian formal pria klasik juga ditampilkan dengan menggabungkan beskap dan blangkon hitam yang ramping ke dalam ansambel tuksedo.
Sumber: Kraton Auguste Soesastro/Jakarta Fashion Week
Dengan melihat pakaian adat Indonesia melalui perspektif ini, Auguste merasa hal itu dapat menambah daya tarik universal untuk budaya Indonesia. “Awal membuat Kraton saya berpikir kenapa orang Jepang bisa memakai kimono atau orang India bisa memakai kurta atau sherwani sehari-hari dan tetap terlihat fresh. Jadi kenapa di Indonesia tidak bisa seperti itu juga? Jadi saya ingin membuat baju modern yang masih ada unsur budaya Indonesia tapi bisa dipakai di mana saja dan oleh semua orang,” jelasnya.
Menerjemahkan cerita Indonesia menjadi karya yang unik
Senada, membawa budaya dan sejarah Indonesia ke kancah global melalui fesyen selalu menjadi fokus bagi desainer perhiasan Indonesia Rilya Krisnawati dalam membangun jenama aksesorisnya, Jumpanona. “Titik awal aku untuk berkreasi selalu Indonesia. Menurut aku warisan dan sejarah kita itu unik dan merupakan identitas yang harus diperkenalkan kepada dunia,” jelasnya pada TFR News.
Rilya banyak mengambil inspirasi dari berbagai daerah di Indonesia. Untuk koleksi terbarunya, ia bercerita tentang bagaimana bunga selalu muncul dalam budaya Bali, mulai dari bunga yang biasa diberikan kepada wisatawan hingga ukiran bunga di pura-pura Bali. Namun, inspirasi utamanya untuk koleksi tersebut adalah foto-foto wanita Bali dari tahun 1930-an yang ia perhatikan selalu dihiasi dengan bunga sebagai aksesori.
Ia menerjemahkan gambaran wanita Bali masa lalu ini ke dalam untaian anting-anting, tusuk konde, dan hiasan kepala yang modern yang dibuat secara realistis dalam bentuk bunga-bunga marigold, kamboja, daun kopi, brugmansia, hydrangea, dan teratai. Pilihan aksesori apa yang dibuat juga penuh dengan makna seperti halnya inspirasi di balik koleksi tersebut. “Aku coba melihat foto-foto perempuan Bali dari tahun 1930-an itu dan juga ngobrol dengan seniman-seniman lokal untuk coba mendapatkan gambaran yang lengkap tentang baju dan aksesori Bali dulu seperti apa dan hal-hal seperti subeng dan tusuk konde banyak digunakan,” jelasnya.
Sumber: Jumpanona/Jakarta Fashion Week
Kisah sejarah seperti ini penting bagi Rilya karena memberikan suatu makna tertentu pada aksesori yang ia buat. “Aku ingin menanamkan traditional story ke dalam desain aku karena ketika aku bawa produk ini ke pasar internasional, produknya memiliki soul, keunikan tersendiri, dan value yang tidak dapat ditemukan di tempat lain.”
Bukan hanya membuat pakaian modern dengan kain tradisional
Proses yang dilakukan oleh Auguste dan Rilya dalam memodernisasi pakaian atau aksesori tradisional Indonesia selalu dimulai dengan memahami dari mana budaya itu berasal.
“Aku mencoba research sebanyak mungkin tentang budaya yang aku jadikan inspirasi. Karena dari situ aku bisa paham bagian mana yang bisa aku deconstruct dan bagian mana yang harus dibiarkan saja,” jelas Rilya.
Langkah ini sangat penting untuk menunjukkan penghormatan karena budaya memiliki nilai tradisional yang dimiliki oleh sekelompok orang, dan oleh karena itu perlu diperlakukan dengan tingkat kepekaan tertentu. Saat mendesain aksesorinya, Rilya biasanya mengambil inspirasi dari elemen dekoratif yang menurutnya tidak terlalu sakral.
“Dalam batik ada unsur yang disebut dengan isen-isen, dan itu suatu unsur dekoratif aja dan yang biasanya berbentuk daun, binatang, dan bunga. Aku mencoba menginterpretasikan bentuk-bentuk ini ke dalam desain aku seotentik mungkin, jadi aku tetap menangkap esensinya, dan memvisualisasikannya kembali dengan sesuatu yang modern untuk menciptakan sesuatu yang baru,” lanjutnya.
Meskipun memiliki kepekaan budaya itu penting, Auguste menekankan kebebasan kreatif yang harus dimiliki seorang desainer. “Sebagai desainer kita punya pilihan untuk menjadi seorang konservator budaya atau membawa budaya ini ke tempat lain. Misalnya tentang kebaya ada orang yang memiliki aturan ketat dalam membuat kebaya, namun tampilan kebaya sendiri telah berubah sepanjang tahun sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1500-an. Jadi hanya tinggal dipahami aja bisa di-stretch sejauh mana unsur-unsur dalam budaya itu.”
Menciptakan permintaan baru untuk melestarikan teknik tradisional
Dalam membuat aksesori, Rilya sering menggunakan teknik kerajinan tangan tradisional Indonesia kuno seperti brass work, filigree, atau carving, yang menurutnya mulai diabaikan oleh pengrajin lokal karena mereka beralih melakukan hal lain yang menghasilkan lebih banyak uang.
Hal ini membuka kesempatan bagi Rilya untuk menggunakan praktiknya untuk mencegah teknik tradisional ini dari kepunahan. “Aku biasanya mencoba untuk aware dengan tren-tren aksesori modern dan mencoba menggunakan teknik-teknik tradisional ini untuk membuat itu. Dengan menggunakan teknik itu, aku bisa membuat aksesori modern dengan siluet yang bisa mengingatkan kita ke aksesori tradisional. Bukan hanya itu, tetapi juga semoga bisa menciptakan permintaan-permintaan baru dari konsumen agar teknik ini tidak ditinggalkan.”
Dengan memasukkan elemen tradisional Indonesia ke dalam desain mereka, Auguste dan Rilya berharap dapat menghasilkan gaya kontemporer yang berfungsi sebagai identitas budaya yang secara organik dapat memberdayakan dan mempertahankan industri fesyen Indonesia.
Namun, seperti yang dijelaskan Auguste, “Ini tidak bisa dilakukan sendiri, perlu ada counterparts lain yang juga harus mengeksplorasi ide ini. Dari visi yang sama ini, barangkali lahir segudang estetika berbeda. So, it needs to be a movement.”