Koalisi Seni terbitkan buku dan modul sebagai panduan musisi Indonesia
Koalisi Seni belum lama ini menerbitkan buku “Diam-diam Merugikan: Situasi Hak Cipta Musik Digital di Indonesia” dan modul “Semua yang Musisi Perlu Tahu tentang Hak Cipta Digital”.
Rupanya, buku dan modul yang dapat diunduh secara cuma-cuma alias gratis ini dirancang khusus sebagai panduan bagi para musisi Indonesia.
Melihat kebijakan yang ada kini belum meladeni perkembangan industri musik lokal, Koalisi Seni ambil langkah dan salah satunya ialah buku dan modul untuk panduan ini.
Kehadiran buku dan modul ini memungkinkan para musisi untuk memperoleh akses informasi dan pengetahuan untuk mengembangkan keterampilannya dalam bermusik.
Baca juga: Koalisi Seni luncurkan sistem pelaporan pelanggaran kebebasan berkesenian
Disesuaikan dengan kebutuhan saat ini
Menariknya, konten dalam buku “Diam-diam Merugikan: Situasi Hak Cipta Musik Digital di Indonesia” dan modul “Semua yang Musisi Perlu Tahu tentang Hak Cipta Digital” telah disesuaikan dengan kebutuhan serta tantangan yang dihadapi musisi Indonesia.
Sejumlah topik yang dibahas di antaranya adalah manajemen karier musik, pemasaran dan promosi, hak cipta, sampai teknologi musik.
Dengan adanya buku serta modul ini, harapannya para musisi tanah air bisa mengembangkan karier mereka sekaligus meningkatkan profesionalisme di dunia musik.
Ke depannya, Koalisi Seni berharap inisiatif serupa dan lebih baik lagi dapat terus dilakukan guna memajukan industri musik lokal.
Pasalnya, kehadiran inisiatif demikian dapat mengembangkan bakat-bakat mereka yang berpotensi di bidangnya.
Berawal dari penelitian Koalisi Seni
Melansir situs resmi Koalisi Seni, kehadiran buku dan modul panduan ini berlatar dari banyaknya platform musik digital yang tak diimbangi dengan kebijakan perlindungan bagi pencipta dan karyanya.
Riset terbaru Koalisi Seni bertajuk “Diam-diam Merugikan: Situasi Hak Cipta Musik Digital di Indonesia” menemukan Undang-Undang nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta bias musik dan belum meladeni perkembangan di industri.
UU tersebut juga tak mengatur secara khusus hak cipta musik digital dan konsekuensi digitalisasi. Padahal, sebagian besar musisi merilis dan mempromosikan karyanya di platform digital.
Survei Koalisi Seni pada 2022 terhadap 104 musisi juga menemukan bahwa sebanyak 59,6% responden tidak mengetahui siapa yang menarik royaltinya.
Sementara itu, sebagian besar lainnya mengetahui UU Hak Cipta, namun 41,3% di antaranya tidak pernah membaca UU tersebut.
“Peraturan yang ada justru memberi keistimewaan bagi label rekaman dan membiarkan pihak perantara di industri musik berkontrak dengan musisi tanpa rambu-rambu perlindungan yang konkret,” terang Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay.
Lebih jauh, riset ini juga menemukan adanya situasi industri yang eksploitatif terhadap musisi, seperti pergeseran pola komodifikasi musik dan kepemilikan salinan, baik fisik maupun digital; sampai penyediaan akses terhadap salinan, yang menciptakan hubungan yang makin kompleks.
“Padahal bagi banyak musisi, isu utama dalam ranah digital adalah bagaimana menciptakan sistem tata kelola royalti digital yang lebih transparan dan berpihak pada mereka,” tambah Hafez.
Koordinator Peneliti Kebijakan Seni dan Budaya Koalisi Seni Ratri Ninditya mengatakan, riset ini turut menyorot soal lemahnya daya tawar musisi, yakni bagaimana musisi selalu menjadi pihak yang paling dirugikan.
“Digitalisasi justru semakin melanggengkan ketimpangan kuasa antara pengguna dan penguasa teknologi, antara musisi dan DSP, label rekaman, dan pihak-pihak perantara,” ujarnya.