Menjaga keberlanjutan dalam desain interior yang makin mengapresiasi alam

Ditulis oleh Rahma Yulita | Read in English

“Kemauan perusahaan-perusahaan kayu yang masih minim untuk berkomitmen mencari bahan-bahan kayu yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.” Itulah tantangan perusahaan kayu untuk berkomitmen menjadi lebih ramah lingkungan menurut Budi Hermawan dari Kayu Lapis Indonesia. 

Mengingat permintaan yang semakin banyak, yang selaras dengan perkembangan industri perkayuan yang terus meningkat, tentu produk kayu semakin menarik untuk memenuhi kebutuhan interior.

Forest Insights, mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diolah Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), mengungkap bahwa nilai ekspor produk kayu Indonesia telah mencapai $13,27 miliar per November 2022. Angka ini mendekati rekor $13,57 miliar pada 2021.

Tak hanya kayu, bahan-bahan mentah lain yang biasa ditemukan di alam ternyata memiliki nilai setelah diolah menjadi material yang memiliki fungsi. Wujud nyatanya dapat ditemukan pada kolaborasi antara Kayu Lapis Indonesia dan DDAP untuk membangun Paviliun Jia dalam acara Jia Curated Kiosks (JCK) oleh Jia by OCK, yang mengusung tema “Material Alchemy”. Tema ini dipilih dengan menekankan pentingnya pemilihan dan kombinasi material untuk semua produk dan desain; bagaimana mengubah bahan mentah menjadi material.

Minimnya komitmen dalam mencari kayu dari hutan yang dikelola secara lestari menyebabkan penerapan “ramah lingkungan” masih pula minim, meskipun istilah ini sudah seringkali digaungkan dan bukan suatu hal yang asing di telinga kita.

Seiring berjalannya waktu, kesadaran masyarakat pun menjadi kunci yang bisa membuka kehadiran konsep keberlanjutan menjadi mutlak untuk memanfaatkan bahan dan material sebaik-baiknya tanpa mengurangi nilai barang yang diproduksi.

Berbicara tentang keberlanjutan artinya berbicara tentang upaya untuk mengoptimalkan manfaat sumber daya alam sekaligus sumber daya manusianya. Menerapkan proses yang efektif dan efisien untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin agar suatu benda bisa terus “berlanjut” dan eksis untuk waktu yang lama.

Inilah pentingnya perusahaan kayu mencari bahan-bahan dari hutan yang dikelola secara lestari, agar pengambilan kayu tetap ramah lingkungan meskipun dengan permintaan yang tinggi.

Keberlanjutan dengan efisiensi dalam meminimalkan limbah kayu

Konsep keberlanjutan tak hanya marak digunakan untuk produk dari sebuah jenama, melainkan juga dalam berbagai kegiatan. Setelah selama dua tahun terakhir masyarakat di seluruh dunia mengalami keterbatasan sosial (termasuk acara sosial), untuk menghidupkan kembali semangat, saat ini sudah mulai banyak acara yang diadakan secara offline.

Salah satunya adalah Jia Curated Kiosks (JCK) yang membangun Paviliun Jia di tengah acara yang mengusung tema “Material Alchemy” tersebut. Acara itu menawarkan pengalaman homey seakan berkunjung ke rumah teman dengan menampilkan karya lebih dari 20 desainer Indonesia dan 30 jenama dekorasi rumah selama tiga hari.

Menariknya, Principal Architect DDAP, Dirga, mengatakan ada kesepakatan dengan tim Jia bahwa paviliun ini bisa dibangun kembali. Menurutnya, hal tersebut sudah mendorong konsep keberlanjutan, mengingat bahan dan material yang digunakan untuk membangun paviliun tersebut akan digunakan kembali dan tidak dibuang begitu saja. “Biasanya kalau pun [bahan dan material] tidak dibuang, ya paling dihibahkan. Tapi, setelah dihibahkan, biasanya malah disimpan saja di gudang,” ujarnya.

Dalam kesempatan ini, sebagai tim arsitek Paviliun Jia, Dirga dan tim mencoba berpikir dengan sistem yang baru, di mana benda-benda yang digunakan untuk membangun paviliun itu bisa dibongkar dan dirakit kembali. Hal ini membuat struktur paviliun menjadi sangat penting, yang berujung pada pemilihan sambungan yang bisa dibuka. Tantangan untuk membuat paviliun yang berkelanjutan pun dijawab oleh DDAP dengan membuat paviliun yang bisa dibongkar-pasang.

Dokumentasi Indra Wiras

Beralih ke pemilihan material, tak kalah penting untuk mengaplikasikan konsep keberlanjutan di Paviliun Jia. Dengan menggunakan kayu lapis sebagai material utama, Dirga berupaya meminimalisir limbah kayu dengan mencoba mengikuti modul kayu lapis. “Dengan seperti itu kita udah merespon dalam meminimalkan waste, yang sangat lumayan untuk menjaga sustainability,“ tambahnya.

Budi Hermawan dari Kayu Lapis Indonesia menjelaskan elemen-elemen kayu lapis sebagai material utama yang diproduksi untuk Paviliun Jia. Elemen tersebut diambil dari hutan Kayu Lapis Indonesia yang dikelola secara lestari, sehingga produk kayu tersebut sifatnya ramah lingkungan dengan memperhatikan kandungan emisi yang sangat rendah–bahkan tanpa emisi sama sekali.

“Produk-produk kayu yang kami tampilkan di Paviliun Jia sifatnya dapat digunakan kembali, di mana dapat dengan mudah kami lepas dan pasang kembali untuk acara-acara di kemudian hari,” jelasnya.

Selaras dengan itu, Budi menekankan prinsip kerja yang fokus dalam mengembangkan bangunan kayu yang tidak hanya lebih hemat energi, tetapi juga tanpa pengerjaan pemotongan kayu di lapangan. Ini bisa memaksimalkan upaya nol sampah karena kayu hanya perlu dipasangkan dengan komponen kayu lainnya yang sudah tersedia, sehingga dapat meminimalkan bantuan alat berat.

Post-pandemic design: Orang-orang semakin mengapresiasi alam

Dirga bercerita tentang hadirnya konsep “Damuh” untuk Paviliun Jia yang awalnya tidak direncanakan, tetapi ternyata cocok dengan kondisi pasca-pandemi seperti sekarang. Damuh berasal dari bahasa Bali yang artinya embun. Nama ini tebersit setelah dibuatnya atap berbentuk lengkungan di paviliun yang terlihat seperti daun dan air – sehingga menjadi embun.

Damuh kemudian dikaitkan dengan embun pagi, sehingga Paviliun Jia seakan menjadi titik untuk penyegaran kembali dari keterbatasan kegiatan sosial, yang sekarang sudah mulai bisa dilakukan secara luring kembali. Desain interior yang terbuka dan transparan pun menjadi fokus utama dari Paviliun Jia. Hal ini ada kaitannya dengan perubahan preferensi desain interior setelah pandemi.

Dirga memberikan contoh analisa dari bentuk vila di Bali, yang pada masa sebelum pandemi, ukuran kamar mandinya biasanya lebih besar dari ruangan lainnya. Namun, saat ini orang-orang lebih banyak beraktivitas di rumah, sehingga DDAP melihat adanya perubahan tipologi dari desain vila, khususnya di Bali.

Iklim Bali yang nyaman dengan sedikit polusi membuat orang-orang saat ini lebih suka menghabiskan waktu di teras, sehingga tuntutan memiliki vila dengan teras yang luas menjadi lebih tinggi.

Dirga menambahkan, “Orang tidak lagi buat kamar mandi yang besar. Kamar tidur size-nya sesuai dengan yang dulu, dengan teras yang ukurannya sama dengan kamar tidur. Nah, ibaratnya kalau kamar itu A, teras A, kamar mandi jadi B.”

Perubahan tipologi desain tersebut ada kaitannya dengan Paviliun Jia yang dibuat seperti teras besar. Sirkulasi udara semakin penting dibandingkan dulu dan apresiasi masyarakat terhadap alam juga semakin besar. Jika dulu orang-orang suka kamar tidur luas dengan AC, sekarang mereka lebih memilih ruangan terbuka yang istilahnya “living on terrace”.

Dokumentasi Indra Wiras

“Seperti itu response to new design–post-pandemic design. Orang-orang lebih pengen lihat matahari, bisa berjemur. Mereka mulai merasa iklim itu penting,” tutupnya.





Artikel terkait


Berita terkini