Mengenal kehidupan animator Jepang yang tidak semulus animenya

Ditulis oleh Rahma Yulita | Read in English

Ketika mendengar kata Jepang, apa yang pertama kali terlintas di benakmu? Mungkin tak akan jauh dari manga, anime, cosplay, wibu, hingga animator Jepang. Yes, Jepang memang memiliki keunikan tersendiri, khususnya dalam industri hiburan yang menjadi titik porosnya.

Hal ini terbukti dengan data penonton anime saat ini yang mencapai lebih dari sepertiga populasi dunia, atau sekitar 2,88 miliar orang. Tidak berhenti sampai di situ, lebih dari 100 juta pengguna Netflix di seluruh dunia pernah menonton setidaknya satu judul anime di aplikasi streaming tersebut pada 2020.

Angka tersebut naik 50% dibandingkan tahun sebelumnya. Semakin banyak yang menikmati hiburan dalam bentuk animasi tersebut, maka permintaan akan anime Jepang pun meningkat setiap tahun. Permintaan ternyata juga tidak datang dari Jepang saja, tapi juga dari negara lain, bahkan negara di luar Asia.

Jika berbicara tentang permintaan anime yang semakin meningkat, tentu kita tidak bisa melupakan orang-orang di balik terciptanya anime yang bisa dinikmati oleh semua orang di dunia. Siapakah mereka? Yup, mereka adalah animator.

Animator adalah orang yang membuat gambar-gambar dalam beberapa frame. Kemudian, gambar tersebut akan menciptakan sebuah ilusi seolah-olah bergerak ketika ditayangkan dengan cepat. Menciptakan satu gambar saja mungkin akan membutuhkan waktu lama, namun animator perlu menciptakan banyak gambar untuk menciptakan ilusi gambar yang bergerak.

Hasilnya pun dapat terlihat dalam bentuk film, serial, bahkan video yang bisa dinikmati di berbagai platform streaming.

Jam kerja tak berujung jadi alasan animator Jepang burnout

Melihat pekerjaannya yang rumit dengan permintaan yang semakin banyak, tak jarang banyak animator yang tumbang dari pekerjaannya. Salah satunya seperti animator yang bekerja di MAPPA Co atau MAPPA Studio, studio animasi Jepang yang memproduksi sederet anime populer seperti “Shingeki no Kyojin (Attack on Titan)”, “Jujutsu Kaisen”, “Chainsaw Man”, dan “Kakegurui”.

Pada 2021, Mushiyo, seorang freelance animator yang bekerja di MAPPA, menceritakan kepada Anime News tentang pengalaman kerjanya di studio animasi tersebut. Ia menyebutkan, bekerja di MAPPA rasanya seperti “bekerja di pabrik” dengan lingkungan kerja yang tidak sehat, alias toxic.

Permintaan untuk revisi gambar yang tak kunjung usai sampai matahari kembali terbit keesokan harinya membuat animator MAPPA mulai merasa kelelahan. Apalagi pada saat itu, MAPPA sedang menjalankan empat proyek animasi besar dalam waktu yang bersamaan.

Menurut Mushiyo, ada sekitar 80% animator MAPPA yang memiliki keluhan sama: overworked hingga membuat mereka kelelahan dan burnout. Masalah ini sempat ramai diperbincangkan, karena beredar foto animator MAPPA yang terlihat sangat kelelahan dengan kondisi mata yang terlihat memerah.

Upah tak sebanding dengan industri yang semakin populer

Selain waktu dan lingkungan kerja yang kurang mensejahterakan animator Jepang, ternyata upah juga masih menjadi masalah yang membuat mereka merasa kurang dihargai dalam pekerjaannya. Contohnya dapat kita lihat di akun YouTube Animator Dormitory yang muncul pada 2020.

Animator Dormitory adalah sebuah asrama yang diperuntukkan bagi para animator junior atau animator yang baru terjun ke profesi ini. Asrama yang berlokasi di Tokyo ini dioperasikan oleh organisasi nirlaba Animator Supporters yang dibentuk pada 2011.

Media sosial Animator Dormitory, khususnya di Instagram dan YouTube, menyediakan konten-konten seputar kehidupan para animator Jepang, mulai dari tips seputar animasi, struggle dan perjuangan animator Jepang bekerja saat pandemi, hingga informasi terkait upah kerja yang ternyata tidak sebanding dengan tuntutan pekerjaan yang mereka lakukan.

Dalam video berjudul The low wage problem in the anime industry yang diunggah pada 14 Maret 2020, Sugawara dari Animator Supporters menceritakan bagaimana industri anime Jepang memiliki pasar lebih dari 2 triliun yen (sekitar Rp223 triliun).

Meskipun industri anime Jepang banyak sekali menghadirkan masterpiece yang menjual dan digemari banyak orang di seluruh dunia, orang-orang di balik kesuksesan anime, yaitu yaitu para animator, justru memiliki struggle ketika melakukan pekerjaannya. Masalah yang banyak mereka hadapi termasuk upah yang terlalu rendah, jam kerja yang tidak ada habisnya, hingga kesepakatan kerja yang tidak adil.

Rata-rata pendapatan tahunan animator Jepang berusia sekitar 20 tahun berkisar pada 1,1 juta yen (sekitar Rp122 juta), yang artinya mereka menerima kurang lebih Rp10 juta setiap bulan. Salah satu alasan mengapa animator Jepang mengalami masalah upah kerja rendah adalah banyaknya animator yang dipekerjakan dengan sistem piecework.

Sistem ini memungkinkan animator Jepang mendapatkan upah berdasarkan dari seberapa banyak keyframe yang bisa mereka kerjakan. Contohnya, untuk anime yang akan ditayangkan sebagai serial TV, seorang animator dapat menghasilkan 200 yen (sekitar Rp22 ribu) untuk setiap gambar “in-between animation”, atau gambar satuan dari keyframe yang dihasilkan.

Jadi, jika animator menggambar 300 in-between animation selama sebulan, maka ia akan mendapatkan upah 60.000 yen (sekitar Rp6 juta). Menciptakan banyak keyframe bukanlah hal mudah, apalagi untuk animator yang baru ingin memulai kariernya. Maka dari itu, banyak animator baru yang terjebak dalam upah rendah selama bertahun-tahun.

Berkarier sebagai animator: Mimpi yang sulit dijalani pendatang baru

Kondisi kerja yang sulit membuat banyak orang yang bermimpi untuk bekerja sebagai animator akhirnya melepaskan mimpi tersebut. Alasannya yaitu karena upah yang didapatkan tidak cukup untuk menutup biaya hidup sehari-hari.

Sugawara menjelaskan, sistem kerja seperti ini membuat banyak animator muda memutuskan untuk berhenti mengejar mimpinya meniti karier sebagai animator. Bahkan, ada sekitar 90% animator Jepang yang memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai animator setelah tiga tahun.

Menurut Sugawara, jika kondisi ini terus menerus dibiarkan, bukan tidak mungkin industri animasi akan kekurangan animator baru untuk regenerasi animator senior yang sudah tidak produktif lagi di masa depan. Apa yang mungkin akan terjadi jika tidak ada lagi animator baru? Industri animasi tentu akan mengalami kesulitan memproduksi anime, apalagi mengingat permintaan anime terus meningkat setiap tahun.

Sebagai bagian dari budaya Jepang, anime memiliki keunikan tersendiri yang tidak bisa ditemukan di animasi yang diproduksi oleh negara lain. Untuk itu, Sugawara berharap anime dapat terus hadir mewarnai budaya Jepang untuk selama-lamanya, dengan kehidupan para animator yang lebih sejahtera di masa depan.


Artikel terkait


Berita terkini