Hiburan untuk semua (Bagian 1) : Musik bukan hanya untuk orang dengar

Ditulis oleh Hani Fauzia Ramadhani | Read in English

Masih ingat video viral seorang Juru Bahasa Isyarat (JBI) menginterpretasikan lagu “Ojo Dibandingke” yang dibawakan Farel Prayoga di Istana Negara? Video tersebut bukanlah satu-satunya video JBI yang merenggut perhatian publik. Tak lama setelahnya, ada juga video JBI saat bertugas di konser Tipe-X – band ska legendaris Indonesia – yang tak kalah ramai. Respons publik akan video-video tersebut beraneka macam; mulai dari pujian kepada penyelenggara acara atas aksesibilitas bagi audiens Tuli, sampai komentar tentang ekspresi wajah dan gestur sang JBI yang dinilai hiperbola.

Ragam respons tersebut menunjukkan masih awamnya pemahaman publik tentang budaya Tuli, aksesibilitas, dan profesi JBI. Pasalnya, penyediaan aksesibilitas bagi disabilitas termasuk Tuli di sebuah acara mestinya menjadi hal yang normal. Selain itu, banyak hal tentang JBI yang tidak banyak diketahui masyarakat, misalnya mimik dan gestur ekspresif yang sebenarnya merupakan bagian wajib dari interpretasi bahasa lisan ke bahasa isyarat.

Apa lagi yang perlu kita tahu perihal dunia Tuli dan aksesibilitas, terutama di ranah pertunjukan musik? Untuk mengupasnya, TFR ngobrol bareng Rezki Achyana, seorang content creator dan juga JBI merangkap CEO Parakerja, serta Jennifer Natalie, content creator Tuli sekaligus penikmat musik.

Hiburan sebagai hak semua orang

Istilah “musik adalah bahasa universal” tentunya sudah sering kita temui dalam berbagai konteks. Namun, masih banyak yang kaget ketika tahu bahwa Tuli pun menikmati musik dengan cara yang berbeda. Jennifer, misalnya, mengaku musik adalah hiburan yang menyegarkan pikiran dan hati. “Aku dan teman-teman Tuli lain bisa menikmati musik lewat getaran bass, dentuman beat, atau musik yang diputar dengan volume besar. Sebagian Tuli masih bisa mendengar sedikit atau memakai alat bantu dengar sehingga masih bisa menangkap suara yang kencang,” paparnya.

Oleh karena itu, tak heran Tuli pun ingin hadir di konser atau festival musik untuk menyaksikan penampilan musisi favorit mereka. Menurut Jennifer, idealnya konser, festival musik, atau acara hiburan lainnya menyediakan JBI agar penonton Tuli bisa menikmati acara juga. “Akan lebih baik jika disertai running text yang menampilkan lirik lagu di atas panggung,” tambahnya.

Apa yang disampaikan Jennifer juga disetujui oleh Rezki, yang telah menjadi JBI untuk beberapa musisi ternama seperti Tipe-X, Vierratale, Tulus, dan Yura Yunita. “Supaya gelaran musik bisa sepenuhnya aksesibel bagi Tuli, promotor atau panitia acara juga perlu memastikan JBI bisa bekerja dengan sebaik mungkin. Sebaiknya JBI diberi info set list musisinya dari jauh-jauh hari, jadi kami bisa mempelajari dulu lirik lagu-lagu yang akan kami interpretasikan. Lalu, bantu kami dengan menyediakan prompter untuk memunculkan lirik lagu yang dibawakan, dan pastikan pencahayaan ke arah JBI cukup terang sehingga Tuli yang menonton bisa melihat kami dengan jelas,” jelas Rezki.

Rezki pada pertunjukan Yura Yunita. (Dokumentasi: Rezki Achyana)

Di gelaran festival yang terakhir dihadirinya sebagai JBI pada Desember 2022, Rezki menjelaskan bahwa komunikasi dengan pihak panitia sudah berlangsung sejak tiga bulan sebelum acara. Ini adalah rentang waktu yang cukup ideal karena ia bisa berkomunikasi, berdiskusi, bahkan memberi saran secara langsung agar acara berjalan lancar dan segala kebutuhan aksesibilitas bisa terpenuhi.

Sebenarnya penyediaan aksesibilitas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam Pasal 16 disebutkan, penyandang disabilitas berhak memperoleh kesamaan dan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan seni dan budaya. Meski keberadaan landasan hukum ini memang belum cukup tegas penerapannya, kesadaran penyelenggara acara akan aspek inklusivitas sudah mulai bangkit. Tentunya ini adalah tren positif yang semoga makin banyak diadaptasi oleh musisi dan promotor.

Menginterpretasikan lagu tak semudah kelihatannya

Rezki juga bercerita bahwa ada tantangan tersendiri dalam menginterpretasikan lagu saat konser atau festival. “Saya sudah biasa menjadi JBI untuk seminar, diskusi, panel, dan konferensi pers. Untuk acara-acara seperti itu saya bisa menerjemahkan bahasa lisan ke Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) secara langsung, dan biasanya dibantu dengan talking points yang sudah diinformasikan ke saya sebelumnya. Sementara untuk pertunjukan musik, saya perlu paham lirik lagu yang dibawakan, yang kadang puitis – pakai bahasa kiasan atau perumpamaan,” katanya.

Ia juga menanggapi perihal salfok alias salah fokus publik pada JBI yang sedang bertugas. “Orang-orang pikir bahasa isyarat itu sekedar gerakan tangan, padahal bukan cuma itu. Ada empat parameter lainnya, yaitu lokasi tangan, bentuk tangan, orientasi atau arah, dan ekspresi wajah. Yang terakhir ini yang sering menarik perhatian orang. Tapi itu wajar sih, karena mungkin publik belum terbiasa lihat JBI. Sama lah, kalau kita dengar ada orang ngomong bahasa yang asing banget di telinga kita, pasti kita jadi tertarik buat dengerin,” ujarnya.

Rezki pun menjelaskan bahwa untuk sampai pada tahap bisa lancar menjadi JBI dan menginterpretasi lagu dengan baik, perjalanannya cukup panjang. Ia sendiri mulai belajar BISINDO langsung dari teman-teman Tuli pada 2019 lalu. “Saya betul-betul berusaha untuk lancar BISINDO dengan cara komunikasi intens dengan komunitas Tuli, nongkrong bareng dengan mereka, kalau sedang senggang video call – ngomongin apa saja, karena sama mereka tuh ada saja yang diomongin,” kenangnya.

Dari situ ia mulai sering diminta oleh komunitas Tuli untuk menjadi JBI di berbagai kegiatan. “Awalnya kurang percaya diri, tapi terus disemangati oleh teman-teman Tuli dan diajari, diberi feedback, supaya makin lancar dan bisa seperti sekarang,” sambungnya. Saat dirinya sudah pede, fasih BISINDO sehingga bisa menerjemahkan konteks lagu yang kadang rumit, serta mendapat kepercayaan penuh dari komunitas Tuli, Rezki pun tak segan menjalani tugas sebagai JBI di pertunjukan-pertunjukan musik.

BISINDO bukan sekadar tren

Seiring ketersediaan aksesibilitas bagi Tuli yang sekarang mulai jadi perhatian banyak pihak, keinginan masyarakat luas untuk mempelajari BISINDO juga meningkat. Ini bisa dilihat dari semakin banyaknya konten media sosial yang isinya menunjukan non-Tuli mempraktikkan BISINDO, salah satunya untuk meng-cover lagu. Baik Jennifer maupun Rezki memandang hal ini sebagai hal yang positif.

“Tapi sebaiknya belajar BISINDO ke Tuli langsung, ya. Setelah semua oke dan BISINDO sesuai lirik, baru bisa buat cover lagu. Karena menerjemahkan lirik lagu ke BISINDO itu perlu konteks dan konsep yang sesuai,” pesan Jennifer. Rezki berpendapat serupa, “kalau upload video cover lagu pakai BISINDO itu kan berarti videonya untuk teman-teman Tuli, bukan untuk bangga-banggaan pribadi, jadi tentu harus benar supaya Tuli mengerti.”

Keduanya juga memberi tips untuk siapa pun yang mau belajar BISINDO, agar jangan sungkan mencari guru Tuli untuk mengajari. Saat ini guru-guru BISINDO Tuli sangat mudah ditemui melalui platform edukasi macam Parakerja dan Silang, atau komunitas Tuli lokal. Pasalnya, jika tidak belajar langsung dari Tuli, bisa jadi konsep bahasa yang dipahami tidak utuh dan akan sulit untuk praktik langsung berkomunikasi dengan Tuli.

“Seperti kita belajar bahasa Inggris, memang bisa dari guru sesama orang Indonesia, tapi kalau dari native speaker-nya langsung kan beda; kita jadi paham bagaimana berkomunikasi dengan bahasa Inggris secara natural, bagaimana agar pelafalan kata-kata bahasa Inggris kita benar, dan apa saja istilah-istilah yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Sama dengan BISINDO, akan lebih baik kalau belajar langsung dari Tuli,” jelas Rezki lagi. Di samping itu, bahasa isyarat pun bermanfaat untuk orang dengar karena bisa menjadi solusi untuk berkomunikasi dalam kondisi tertentu, misalnya di tengah kegaduhan konser.

Nah, setelah dapat sedikit gambaran tentang aksesibilitas bagi Tuli, penasaran nggak kira-kira bagaimana dunia hiburan bisa menjadi ruang inklusif bagi teman-teman disabilitas lainnya? TFR akan lanjut membahas isu ini lewat seri “Hiburan untuk Semua” yang akan terbit dalam beberapa minggu ke depan. Nantikan bagian selanjutnya, ya!***


Artikel terkait


Berita terkini