Perempuan dan komunitas marginal dalam “dunia laki-laki” skena punk Indonesia

Ditulis oleh Haiza Putti & Elma Adisya | Read in English

Semangat anti-kemapanan, budaya DIY (do-it-yourself), dan kebebasan berekspresi komunitas musik punk yang berawal dari Amerika Serikat dan Inggris pada 1970-an terus menjalar hingga ke Asia. Isu tentang perempuan turut menjadi salah satu keresahan yang disuarakan musisi dan komunitas sejak dulu, seperti yang dilakukan The Slits dan The Raincoats.

Dikutip dari laman Neo Cha, di Asia ada Hang On The Box (HOTB) yang merupakan band punk perempuan pertama di Tiongkok yang terbentuk pada 1998 silam. Ini membuktikan adanya ruang ekspresi diri di luar norma sosial bagi perempuan, yang berkembang di masyarakat Tiongkok. Perempuan dalam skena punk Tiongkok juga dipotret dalam proyek “The CHINA GRRRL” yang dibuat oleh anggota band punk asal Shanghai, Ugly Girls, yaitu Ceridwen Brown dan Casey Li Brander, yang diterbitkan dalam majalah Amerika TOMTOM.

Di Jepang, perempuan juga menunjukkan eksistensi mereka dalam skena musik punk. Ada band punk perempuan asal Nagoya, CHAI yang terbentuk pada 2012. Lagu mereka “NEO KAWAII” berisi komentar sosial mereka tentang perempuan tidak perlu mengikuti standar masyarakat untuk menjadi perempuan kawaii, karena seharusnya kawaii memiliki beragam tipe dan semua perempuan itu kawaii dengan jalan mereka masing-masing.

Selanjutnya, semangat “mandiri” dan budaya DIY dari punk, termasuk subkultur hardcore/punk (hc/punk), mulai masuk ke Indonesia. Setidaknya, hal itu ditandai dengan kehadiran band Puppen yang beranggotakan Arian13, Marcell Siahaan, Robin Malau, Ajo, dan Prima Mulia pada 1992.

Untuk menyelami perkembangan dan keberadaan perempuan serta komunitas marginal lainnya di skena hardcore/punk di Indonesia, TFR berbincang bersama Arian13, Ika Vantiani, Hera Mary, Januar Kristianto, Anida (bassist Amerta), Aca dan Meidi dari Peach, Ito dari Madafaka Records, dan Delpi Suhariyanto dari Greedy Dust. Simak selengkapnya di bawah ini!

Budaya tape trading dan zine yang mengawali perkembangan skena hardcore/punk Indonesia

Arian13 menyampaikan bahwa pada awal 1990-an, selain mulai beredarnya rilisan punk rock dan metal di berbagai gerai musik, kehadiran majalah seperti Thrasher menjadi salah satu jendela informasi mengenai skena musik punk rock dan metal yang lekat dengan komunitas skateboard.

Budaya fanzine dan scene report yang populer di antara pegiat skena punk di luar negeri turut diadaptasi di tanah air. Pada 1996, Arian13 membuat Tigabelas Zine yang dimulai dengan meninjau perkembangan musisi dan kegiatan pegiat punk di Bandung. Selain itu, ada pula tape trading atau kegiatan bertukar rilisan fisik musisi yang dilakukan para pegiat komunitas punk dari berbagai belahan dunia, dan menjadi media berjejaring dan mengenalkan musik mereka.

Harcore/punk Indonesia yang lekat dengan maskulinitas

Pentolan band Seringai itu selanjutkan menjelaskan, musik hc/punk maupun punk rock yang berkembang di Indonesia, pada awalnya kebanyakan masih berkiblat pada praktik yang berkembang di luar. “Kebanyakan ngacu sama band referensinya, misal (seseorang suka) Agnostic Front, dia ngikutin mulai dari gaya berpakaian dan yang lainnya,” jelas Arian13. Meski begitu, tak berarti Indonesia tidak memiliki ciri khasnya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran band Jeruji yang memasukkan Bahasa Sunda dalam lagunya, “Pianjingeun”. 

Akan tetapi, karakter musik hc/punk maupun punk secara menyeluruh, yang disebut Arian13 sebagai “agresif”, menghadirkan kesan maskulin dari skena tersebut. Hal itu juga diamini oleh Delpi Suhariyanto, pendiri label rekaman asal Jawa Timur Greedy Dust. Bahkan menurut Delpi, hal itu melahirkan minimnya rasa aman dalam ruang-ruang kegiatan punk.

“Dulu, chaos banget kalau saya dateng ke acara hardcore di Blitar. Masih sering adanya perkelahian bahkan sempat terdengar adanya kejadian penusukan di acara. Namun hari ini sudah jauh lebih baik dan pesan inklusivitas lebih terbangun di tiap acara,” ceritanya.

Lantas, apa yang membangun stigma dan budaya tersebut? Menurut Arian13, salah satu penyebabnya adalah skala industri hc/punk yang terbilang kecil. Kenyataan tersebut membuat perkembangan wacana, praktik, dan percakapan tentang ruang aman di dalamnya masih minim. Salah satu dampaknya adalah minimnya representasi perempuan, terlebih lagi para queer.

Zine SETARA MATA dan dokumenter “Ini Scene Kami Juga!”

Meski minim, bukan berarti jumlah perempuan dan golongan queer dalam skena tersebut nihil. Tercatat sejak 1990 sebuah band bernama Punktat telah mewarnai skena musik Jakarta. Kemudian, ada pula band OATH yang digagas oleh Hera Mary bersama rekan-rekannya sejak 2012, juga kelompok hc/punk Peach asal Medan yang debut pada akhir 2022.

Ada pula proyek zine SETARA MATA yang diinisiasi oleh perupa Ika Vantiani ketika dirinya masih aktif berkecimpung dalam dunia punk sejak akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Zine buatannya menjadi wadah percakapan tentang isu queer-punk di tanah air. Meski selama zine masih dicetak, menurut Ika banyak komentar diskriminatif terhadap tulisan-tulisan yang diangkat dalam zine itu. “Bahkan dulu, ketika misalnya ada laki-laki editor zine membicarakan soal vulnerability mereka, itu bisa habis-habisan diolok-olok,” lanjutnya.

Selang beberapa tahun setelah SETARA MATA, penggagas Hera Mary membuat blog yang mendokumentasikan aktivitas perempuan dalam hc/punk. Kepada TFR, Hera mengaku inisiasi tersebut dibuat atas kesadaran minimnya kegiatan perempuan dalam dunia hc/punk Indonesia.

Namun, setelah berjalan beberapa lama, Hera merasa mentok dan tak lagi menemukan kegiatan perempuan dalam skena hc/punk untuk diliput. “Kalaupun ada, mereka jarang sekali terlihat, dan terlupakan. Teman-teman perempuan harus ekstra kerja lebih keras agar sama-sama dikenali.”

Akhirnya, pada 2015, Hera memutuskan membuat dokumenter “Ini Scene Kami Juga!” yang diluncurkan setahun setelahnya. Lewat film yang telah ditayangkan di berbagai layar sejumlah negara tersebut, Hera membuktikan geliat perempuan musisi, penulis zine, dan fotografer dalam skena yang disebutnya sebagai “dunianya laki-laki” tersebut.

Pelecehan seksual masih terjadi di acara punk hari ini

Peach debut pada akhir 2022. Dalam waktu singkat, band asal Medan tersebut berhasil menarik atensi pecinta hc/punk, bahkan ditawarkan tampil di sejumlah kota. Hingga akhirnya, pada awal Maret tahun ini, Peach melangsungkan tur pertamanya dan menyambangi Batam, Johor Bahru, Singapura, dan Kuala Lumpur.

Namun sayangnya, setelah penampilan terakhirnya di Kuala Lumpur, band itu mengalami kejadian tak mengenakkan. Ketika Peach tengah menikmati penampilan band lainnya seusai tampil, di tengah mosh pit, sang vokalis Aca menemukan tubuhnya tiba-tiba diraba oleh laki-laki tak dikenal.

Kepada TFR, Aca bersama manajernya, Ito, menceritakan bagaimana mereka langsung melaporkan kejadian ke penyelenggara acara. Namun, mediasi berjalan alot dan hingga kini, “mereka masih nggak ngaku pernah ngelakuin (pelecehan).”

Tak lama, Peach mengunggah pernyataan terkait kejadian itu ke media sosial. Kemudian, sebuah media lokal Medan mengangkatnya menjadi berita. Akan tetapi, “Media itu (hanya) ngambil statement (kami) secara mentah, dan dicetak fisik,” yang berujung mengundang pandangan yang menyudutkan Peach dari para pembaca koran tersebut.

“Tapi kejadian itu bikin aku dan Peach terus bersemangat berkarya dan menyuarakan suara-suara yang butuh didengar. Ternyata perjuangan kami valid. (Bahkan) Aku jadi korbannya sendiri,” tutur Aca.

Foto: Penampilan Peach | @liamgallakher

Melampaui kata-kata, aksi nyata dibutuhkan demi membangun ruang aman

Lantas, dapatkah skena punk memberi ruang aman bagi para pegiat dan penikmatnya? Menurut Delpi, berkaca dari pengalamannya, hal utama yang dibutuhkan komunitas hc/punk dan punk secara keseluruhan adalah sebuah aksi nyata.

“(Maret 2022) Greedy pernah bikin pameran foto gigs hc/punk di Surabaya. Ada satu pengunjung nanya, kenapa di pameran nggak ada foto perempuan. Aku sebagai penyelenggara cukup merasa malu dan baru sadar. Bahwa, ketidaknyamanan itu terkesan dilanggengkan. Banyak dari mereka tidak bersuara, tapi aksi yang dilakukannya nggak cukup untuk mengubah kondisi,” cerita Delpi kepada TFR.

Senada, Anida yang kini menjadi bassist band Amerta menyatakan, “Masih banyak yang belum tahu cara membangun ruang aman.” Ia menambahkan bahwa di luar negeri ada organisasi yang memberi pelatihan cara penanganan ketika terjadi kasus pelecehan, yang menurutnya dapat menjadi solusi demi terjalinnya rasa aman di antara semua pihak dalam skena tersebut.

Pasalnya menurut Anida, narasi yang berjalan selama ini masih tentang “mari kita jaga perempuan”, padahal seharusnya ketika sudah ada ruang aman, tidak ada yang perlu dijaga.

Sebagai informasi, menurut Festival Safe, tiga hal utama yang perlu diingat dalam membangun ruang aman di acara musik ialah: tidak adanya toleransi bagi pelecehan seksual, tidak boleh ada persentuhan tanpa persetujuan, serta seluruh orang harus menjadi pengamat aktif yang langsung memeriksa kondisi penyintas dan mendengarkan penjelasannya tanpa menghakimi. Good Night Out, dan Safe Gigs For Women (SGFW) juga menjadi contoh organisasi yang telah menyuarakan pentingnya ruang aman dalam acara musik sekaligus mengedukasi skema penanganan ketika pelecehan seksual terjadi.




Artikel terkait


Berita terkini