Film superhero Indonesia: Jalan terjal membangun kepercayaan penonton
Ditulis oleh Alessandra Langit | Read in English
Film “Gundala” karya sutradara Joko Anwar pada 2019 lahir bak janji manis dari pelaku sinema Indonesia kepada penonton setianya. Konsep besar Jagat Sinema Bumilangit mengukir harapan bahwa Indonesia mampu bersaing dengan Hollywood dalam menciptakan semesta superhero-nya sendiri.
Kesuksesan pun diraih oleh film “Gundala” dengan menembus satu juta penonton bioskop tepat sebelum pandemi COVID-19 menyerang Indonesia dan berdampak pada sektor produksi hingga penayangan film.
Setidaknya, untuk waktu yang cukup lama, “Gundala” menguasai layar bioskop Indonesia dan meninggalkan rasa bangga di hati masyarakat atas kemampuan pembuat film Tanah Air dalam mengangkat komik legendaris pahlawan super karya Harya Suraminata itu.
Pandemi COVID-19 berlalu sekejap mata, mengembalikan ekosistem penayangan film yang sehat. Jagat Sinema Bumilangit kembali menggaungkan nama pahlawan super selanjutnya yang akan hadir di bioskop Indonesia.
Setelah dua film layar lebar Jagat Sinema Bumilangit tayang di bioskop, ramai pembicaraan di media sosial bahwa semesta pahlawan super ini mengalami kegagalan. Pasalnya, jumlah penonton film “Sri Asih” (2022) dan “Virgo and The Sparklings” (2023) tidak bisa menyusul “Gundala”, bahkan jauh di bawah perhitungan angka box office Indonesia.
Film “Sri Asih” karya sutradara Upi hanya mencapai 570.619 penonton, sedangkan “Virgo and The Sparklings” karya Ody C. Harahap dinilai gagal dengan angka penonton yang hanya 54.115 orang. Kedua film terbaru Jagat Sinema Bumilangit tersebut pun hanya bertengger sebentar di layar bioskop Indonesia, digantikan oleh sederet film horor dan drama keluarga yang merajai box office Indonesia.
Berdasarkan rendahnya jumlah penonton di dua film terakhir, apakah Jagat Sinema Bumilangit mengalami kelumpuhan pasca-pandemi COVID-19? Namun, di luar semesta Bumilangit, film superhero lainnya seperti “Satria Dewa: Gatotkaca” (Hanung Bramantyo, 2022) bahkan tak terdengar nasibnya.
Dengan jumlah kelompok penggemar film superhero Barat seperti Marvel Cinematic Universe dan DC Comics yang besar, apa yang membuat penonton Indonesia enggan meramaikan bioskop saat penayangan film superhero lokal?
Mengulik soal jalan terjal perkembangan film superhero Indonesia saat ini, TFR berbincang secara virtual dengan Jagoan Kancil, seorang kreator konten dan penggemar pahlawan super Indonesia.
Pandemi COVID-19 menyerang, promosi setelah “Gundala” semakin longgar
Sejak 2019, kanal YouTube Jagoan Kancil mengulas komik, narasi, serta film superhero Indonesia yang tayang di bioskop. Dengan minat yang besar terhadap kisah pahlawan super lokal, Jagoan Kancil pun mengikuti perkembangan film Jagat Sinema Bumilangit beserta polemik angka penonton yang sempat ramai di media sosial.
Menurut pria yang berdomisili di Pekalongan ini, longgarnya promosi setelah “Gundala” menjadi masalah utama menurunnya kepercayaan penonton terhadap film pahlawan super Indonesia.
Saat “Gundala” bersiap tayang, Jagat Sinema Bumilangit mengadakan berbagai acara besar untuk mengenalkan semesta film ini dan tokoh pertama yang akan berlaga di layar lebar.
“Saat itu benar-benar promo terbaik, media dan masyarakat saat itu kaget dan heboh, ‘Oh ternyata Indonesia bisa membuat seperti ini, nggak kalah dengan superhero luar’,” cerita Jagoan Kancil.
Sayangnya, pandemi COVID-19 kemudian menyerang selama hampir tiga tahun, menyapu ingatan penonton Indonesia soal karakter-karakter superhero yang dijanjikan akan menghiasi layar bioskop beberapa tahun ke depan.
Pekerjaan rumah yang besar bagi pemegang hak kekayaan intelektual (HKI) superhero Indonesia dan para pembuat film yang terlibat adalah membangun kembali kepercayaan masyarakat untuk keluar rumah dan mengeluarkan uang demi membeli tiket bioskop yang merupakan kebutuhan sekunder.
“Langkah yang bisa mereka lakukan untuk mengulang kesuksesan “Gundala” ya promosi harus lebih besar lagi. Mau gimana pun, kalau dilihat di Indonesia faktanya orang nonton untuk sekadar jalan-jalan ke bioskop, orang mau nonton film yang nggak rumit, hanya mencari hiburan saat lagi suntuk,” terangnya.
Tak kenal maka tak sayang, tak relate maka tak nonton
Promosi yang longgar bukan satu-satunya faktor yang membuat masyarakat enggan memberikan kepercayaan pada film superhero Indonesia. Masalah lain yang menjadi sorotan Jagoan Kancil adalah masyarakat Indonesia yang belum mengenal karakter superhero lokal seperti mereka mengenal Spiderman maupun Batman.
Film horor Indonesia selalu menembus angka jutaan penonton dan masuk ke daftar box office, bahkan tanpa promosi besar-besaran. Masyarakat Indonesia cukup mengenal kisah mistis dan gaib untuk percaya dengan cerita yang akan dibawa dalam film yang bahkan mereka belum tonton.
Sementara, superhero Indonesia masih berdiri layaknya sekelompok orang asing yang terasa jauh dari kehidupan sehari-hari. “Gimana bisa suka kalau mereka tidak kenal?” tegas Jagoan Kancil.
Memiliki latar belakang adat yang kuat, masyarakat Indonesia lebih percaya kepada cerita mistis tentang makhluk halus, santet, dukun, hingga arwah yang masuk ke tubuh manusia dibandingkan cerita fiksi sains yang membahas soal fenomena semesta sebagai latar cerita suatu film. Maka, formula narasi superhero Hollywood tidak bisa digunakan di semesta pahlawan super Indonesia.
“Kita ini rakyat yang berbeda dengan Amerika. Formula yang dibuat oleh DC dan Marvel mungkin cocok dengan rakyat mereka. Tapi untuk rakyat kita sendiri ya gimana ya,” ujarnya.
Potensi cerita asli yang mistis pun seakan dilewatkan oleh film “Sri Asih” yang memiliki karakter utama dengan bakat spiritual. Dalam narasi film “Sri Asih”, sedari dulu, karakter titisan Dewi Asih ini memiliki kemampuan untuk memanggil nyawa leluhur hingga berkomunikasi dengan alam gaib.
Menurut Jagoan Kancil, selain “Gundala”, film superhero yang sukses memperkenalkan dirinya kepada masyarakat Indonesia dan langsung melekat di ingatan adalah “Qodrat” karya sutradara Charles Gozali yang rilis pada 2022 lalu. Uniknya, “Qodrat” berada di luar jagat sinema superhero mana pun dan dipromosikan sebagai film horor religi.
“Menurutku (film superhero) yang paling sukses adalah “Gundala” dan “Qodrat” karena mereka menunjukkan gimana bikin film superhero di Indonesia dengan formula yang cocok. Dua film itu jadi blueprint untuk film-film ke depan karena sukses menarik perhatian dan disukai penonton,” katanya.
“Qodrat” tidak memberikan label pada dirinya sebagai film superhero. Namun, narasi heroik di luar nalar manusia dan unsur supervillain dari jin yang memasuki tubuh korban-korbannya sesuai dengan kaidah penceritaan film superhero yang familier bagi penonton.
Unsur mistis dari film “Qodrat” sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, membuat penonton percaya bahwa akan ada pahlawan super yang menyelamatkan sebuah desa pesantren dari serangan iblis jahat. Kuatnya unsur religi juga menjadi poin penting yang membuat karakter utama bernama Qodrat (diperankan oleh Vino G. Bastian) mendapat kepercayaan dan simpati penonton.
Masih adakah tempat bagi film superhero Indonesia di masa datang?
Setelah menurunnya jumlah penonton di dua film terakhir, masa depan film superhero Indonesia menjadi tanda tanya besar karena tentu angka penonton dibutuhkan untuk revenue film dengan biaya produksi yang tak kecil.
Menurut Jagoan Kancil, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah terbuka dengan film superhero karya anak bangsa, mengingat sebagian masyarakat Indonesia tumbuh dengan tontonan superhero klasik di TV seperti sinetron “Si Buta dari Gua Hantu”, “Wiro Sableng”, dan “Saras 008”.
“Jadi sebenarnya, kalau soal suka, mereka pasti suka. Tinggal gimana cara pemegang IP film superhero Indonesia membuat strategi yang menarik minat penonton,” ungkap Jagoan Kancil.
Jika harus belajar dari kesuksesan Marvel Cinematic Universe dan DC Comics, banyak pasang surut yang harus ditelisik. Marvel Cinematic Universe baru menciptakan ledakan selepas kemunculan the Avengers sebagai perkumpulan dari superhero. Sedangkan DC tidak pernah lepas dari kesuksesan semesta Batman dan Joker yang memiliki kepribadian kuat.
Menurut Jagoan Kancil, strategi terdekat adalah milik Marvel Cinematic Universe yang mengandalkan film tim seperti “The Avengers”. “Orang-orang sini baru akan ngeh kalau ada film tim nantinya, untuk sekarang harus dilarikan ke series dulu agar orang kenalan dulu dengan karakternya karena sekarang mereka masih ragu untuk beli tiket bioskop,” jelasnya.
Serial superhero “Tira” yang akan tayang di salah satu layanan Over The Top (OTT) besar diharapkan dapat memberikan efek yang berbeda pada masyarakat Indonesia. Dengan menyaksikan serial yang bisa ditonton di mana saja, masyarakat mampu melihat kualitas film superhero lokal yang nantinya menentukan kepercayaan mereka untuk setia mengikuti semestanya, bahkan di layar lebar.
“Harapanku, semoga orang-orang membuka hati dan enggak skeptis dengan hal-hal yang mereka enggak tahu seperti film superhero Indonesia. Semoga pembuat film juga dapat menerima kritik karena di luar pasti akan banyak kritik,” tutup Jagoan Kancil.
Kini, semesta film pahlawan super tanah air menjadi janji manis yang ditagih oleh para pecintanya. Namun, kunci jawaban tetap di tangan kepercayaan penonton Indonesia.