Merunut drama seputar konser dan festival musik belakangan ini
Ditulis oleh Hani Fauzia Ramadhani | Read in English
Konser dan festival sedang jadi pembicaraan hangat di kalangan anak muda, baik dalam maupun luar negeri, akhir-akhir ini. Pasalnya, sejak pandemi mereda dan izin keramaian kembali dilonggarkan, para musisi dan penyelenggara acara yang telah hiatus panjang langsung bertubi-tubi menyuguhkan berbagai acara untuk masyarakat yang juga sedang haus-hausnya akan hiburan.
Namun, perihal menyelenggarakan dan menghadiri konser atau festival ini tidak sesimpel kedengarannya. Ada banyak drama yang bikin orang emosi, bahkan sampai merugi.
Sengitnya ticket war
Seiring perkembangan teknologi, proses penjualan dan pembelian tiket memang jadi lebih canggih. Tak perlu lagi calon penonton antre di depan rumah Ibu Dibyo, sosok legendaris yang pada zamannya melayani penjualan tiket berbagai macam helatan. Sayangnya, kecanggihan sistem jual beli online ini tidak berarti proses mendapatkan tiket yang diinginkan jadi lebih mudah.
Istilah “ticket war” lazim digunakan untuk menggambarkan perjuangan membeli tiket konser atau festival. Dengan minat masyarakat yang tinggi untuk menghadiri berbagai pertunjukan, ditambah keinginan mendapatkan harga terbaik yang dijual di fase pre-sale atau early bird, penyelenggara acara biasanya mengatur penjualan tiket lewat platform online yang otomatis meregulasi alur antrian virtual dengan sistem siapa cepat dia dapat.
Demi memenangi peperangan ini, tidak sedikit orang yang rela bersiaga di depan laptop berjam-jam sebelum penjualan dimulai, bahkan sampai pindah lokasi untuk mencari koneksi kencang demi menunjang proses check out.
Kehebohan ticket war belum lama ini melanda Tanah Air dengan mulai dijualnya tiket konser BLACKPINK yang akan digelar di stadium Gelora Bung Karno pada Maret 2023.
Media sosial diramaikan oleh beragam ungkapan emosi; ada netizen yang suka cita karena berhasil mengamankan tiket, ada yang kecewa, ada pula yang fokus menghujat para calo oportunis yang membeli tiket dan menjualnya kembali dengan harga bombastis mencapai puluhan juta. Padahal, harga resmi tiket BLACKPINK berkisar dari Rp1.350.000 hingga Rp3.800.000.
Maria Elisa, seorang pekerja media, adalah salah satu pemburu tiket BLACKPINK yang beruntung mendapatkan tiket VIP yang dia inginkan. Maria menuturkan, untuk mendapat tiket tersebut ia menerapkan beberapa strategi. Pertama, membaca T&C dengan cermat karena sebenarnya semua ketentuan dan aturan sudah tertera di sana. Kedua, pastikan sudah membuat akun di platform penjualan tiket dan isi semua data diri, termasuk informasi pembayaran yang akan dipakai.
“Nah, yang ketiga, cari tahu di platform tiket itu batas maksimal pembayaran berapa lama. Misalnya 10 menit, berarti di-refresh aja page-nya per 10 menit, pasti ada saja orang yang batal bayar. Di situlah kesempatan kita. Jadi walaupun udah liat tulisan ‘habis dipesan’, jangan menyerah!” jelasnya.
Bagi Maria, pengalaman ticket war kali ini bukanlah yang paling brutal. “Masih lebih tegang waktu beli tiket IU karena itu konser pertamanya IU di Indonesia dan dengan venue yang lebih kecil dari BLACKPINK,” ceritanya.
Monopoli platform penjualan tiket
Ketegangan ticket war bukan cuma dirasakan oleh para Blink di Indonesia, tapi juga para Swiftie di Amerika. Tiket pre-sale “The Eras Tour” Taylor Swift yang mulai dijual pada 15 November memicu amuk massa. Ticketmaster, platform penjual tiket “The Eras Tour”, bahkan menjadi trending topic di Twitter lantaran banyaknya Swiftie yang gagal mendapatkan tiket karena gangguan teknis di laman mereka
Harga tiket di platform ini pun luar biasa, sehingga banyak yang urung membeli walaupun sudah masuk dalam antrean setelah berjam-jam menunggu. Di hari yang sama, Ticketmaster merilis pernyataan resmi bahwa jutaan orang mengakses platformnya untuk membeli tiket konser Taylor Swift dan ini merupakan momen historis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penjualan untuk publik (bukan pre-sale) pun ditunda karena sistem dan ketersediaan tiket perlu dibenahi terlebih dahulu.
Kejadian ini mengusik kembali sentimen negatif terhadap Ticketmaster akan monopolinya di industri pertunjukan. Peneliti musik sekaligus musisi Aris Setyawan menuturkan pada TFR bahwa pertarungan melawan Ticketmaster bisa ditelusuri jauh ke belakang.
“Pada 1995, band rock asal Amerika Pearl Jam pernah mencoba menggugat Ticketmaster karena mereka merasa Ticketmaster menjual tiket dengan harga yang kelewat mahal. Mereka merasa kasihan pada para fans yang harus merogoh kocek dalam-dalam untuk bisa menghadiri konser. Walau akhirnya Pearl Jam kalah di persidangan, dan Ticketmaster bahkan kemudian memboikot Pearl Jam,” papar Aris.
Meski gagal, setidaknya kasus Pearl Jam ini menunjukkan bahwa musisi – atau fansnya – berdaya untuk melawan monopoli yang dilakukan Ticketmaster.
Selain praktik monopoli, Ticketmaster juga memberlakukan penetapan harga dinamis, di mana algoritma dan turun-naiknya permintaan menentukan harga yang muncul. “Bahkan Mark Hoppus, basis sekaligus vokalis Blink-182, mengaku mencoba membeli tiket untuk pertunjukannya sendiri dan kaget dengan jumlah nominal yang harus ditebusnya,” ujar Aris. Ia bahkan gagal membeli tiket tersebut karena kehabisan waktu sebelum check out.
Memang, tak lama setelah Blink-182 mengumumkan kembalinya Tom DeLonge ke grup dan merilis jadwal turnya, muncul banyak meme netizen yang menyentil mahalnya harga tiket konser mereka. Mulai dari anekdot soal pertarungan logika milenial yang gamang antara beli tiket konser atau bayar cicilan rumah hingga ide dress up sebagai Blink-182 waktu Halloween karena seramnya harga tiket.
Aris menambahkan, beberapa politisi di Amerika Serikat sudah membuka suara soal monopoli yang tidak terkontrol ini. “Alexandria Ocasio-Cortez, congresswoman partai Demokrat, sempat menganjurkan bahwa sudah saatnya Ticketmaster dipecah-pecah menjadi beberapa perusahaan yang lebih kecil agar monopoli mereka itu bisa hilang, dan saya setuju. Selain itu, para musisi harusnya punya kesadaran yang kuat bahwa tiket konser yang terlampau mahal itu tidak sehat untuk industri musik itu sendiri. Soalnya, kalau harga-harga tiket sudah melambung terlalu tinggi nanti jatuhnya terjadi gelembung yang bisa pecah kapan pun. Kalau sudah begitu, siapa yang mau membeli tiket konser?” jelas Aris.
Menurutnya, ketika musisi sudah punya kesadaran itu, mereka harus menularkannya ke para fans mereka. Karena para fans juga punya kuasa untuk mencegah harga tiket melambung, dengan “berpikir jernih dan jangan gelap mata saat membeli tiket konser. Dengan demikian, para ticketing platform akan berpikir ulang jika ingin menjual tiket konser dengan harga tak masuk akal.”
Munculnya para EO amatir
Sebenarnya, bukan cuma platform tiket dan para calo yang problematik dalam memanfaatkan animo masyarakat. Banyak pula event organizer (EO) yang kurang maksimal mengelola acara. Di Amerika, ada When We Were Young Festival yang menggandeng deretan band pop-punk ternama, mulai dari Paramore dan The All American Rejects hingga My Chemical Romance. Festival ini menuai banyak komentar miring, mulai dari persiapan yang tidak matang hingga eksekusi yang mengecewakan.
Di dalam negeri pun sama saja. “Hingga November tahun ini, ada 40-an festival musik di Indonesia dan tidak semua sukses. Nama-nama festival yang sudah cukup mapan dan berpengalaman seperti Synchronize Fest dan Rock In Solo bisa berlangsung lancar tanpa hambatan berarti. Tapi banyak juga festival musik yang gagal akibat beberapa promotor baru yang amatir dalam mengelola acara. Salah satunya adalah Fosfen Festival di Bandung,” Aris menuturkan.
Sebelum Fosfen Festival, masih hangat dalam ingatan bagaimana Festival Berdendang Bergoyang dibubarkan paksa polisi karena menyalahi aturan dengan menjual tiket dua kali lipat jumlahnya dari kapasitas venue. Imbas dari EO yang lalai mengelola acara seperti ini cukup fatal; pihak berwajib jadi memperketat perizinan penyelenggaraan acara musik.
Dilansir dari Tempo.co, Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) telah menerima banyak aduan soal konser dan festival yang kesulitan mendapatkan perizinan sejak kejadian Festival Berdendang Bergoyang tersebut. Bahkan, APMI telah menemukan adanya aturan-aturan baru dari pihak aparat yang harus diikuti oleh penyelenggara acara, di antaranya larangan konser di atas jam 18:00, sebuah aturan yang kurang masuk akal.
Pihak APMI pun menyatakan akan berkonsolidasi dengan berbagai pihak untuk merumuskan standar operasional prosedur pelaksanaan konser dan festival musik agar kondusif sehingga industri ini tetap sehat.
Wah, dengan banyaknya konser dan festival yang akan datang di akhir tahun ini maupun awal tahun depan, semoga beragam masalah yang ada tidak mengubur impian para pecinta pertunjukan musik untuk nonton musisi idolanya, ya!
Kini, bisnis indekos hadir dalam versi elevated bernama co-living. Co-living mengusung konsep yang lebih modern sesuai standar gaya hidup anak muda masa kini.