Perkembangan poster film religi Indonesia dan masa depannya
Ditulis oleh Alessandra Langit | Read in English
Pesatnya perkembangan industri film Indonesia pasca-Reformasi ditandai dengan munculnya genre yang beragam. Salah satu genre yang menjadi primadona film Indonesia pada awal 2000-an adalah religi atau keagamaan. Film bernapaskan Islam yang dibalut dengan drama keluarga atau drama romantis menjadi tayangan kesayangan masyarakat Indonesia. Film bertema agama menjadi peluang yang menjanjikan dan menggiurkan bagi sejumlah rumah produksi besar dan produser kondang. Tak heran, setiap tahun muncul judul film religi baru yang menghiasi layar bioskop Tanah Air.
Hingga memasuki dekade baru setelah 2010, film religi masih menjadi tren yang diminati oleh penonton Indonesia. Kursi bioskop terus terisi walaupun film-film tersebut memiliki kesamaan latar belakang, perkembangan karakter, jalan cerita, pengambilan gambar dan warna film, hingga yang paling jarang disorot, yaitu desain poster film. Karakteristik poster film religi Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan adanya pola strategi penjualan film tertentu yang telah lama menjadi rumus dari kesuksesannya menarik minat penonton.
Saat membedah poster film religi Indonesia yang sukses pada awal 2000-an seperti “Ayat-Ayat Cinta” (Hanung Bramantyo, 2008) dan “Perempuan Berkalung Sorban” (Hanung Bramantyo, 2009), terlihat jelas bahwa unsur agama Islam menjadi nilai jual utama dari kedua film tersebut. Hal itu ditunjukkan dengan penggambaran perempuan yang mengenakan pakaian keagamaan seperti cadar dan sorban. Selain itu, aktor dan aktris yang terlibat juga menjadi nilai jual film religi Indonesia pada periode tersebut. Alih-alih menunjukkan simbolisme visual layaknya film-film alternatif, poster-poster ini secara gamblang memperlihatkan siapa saja aktor dan aktris ternama yang menjadi karakter utama cerita film.
Secara pewarnaan, poster film-film religi ini menggunakan warna-warna tegas yang memberikan kesan keseriusan, ketangguhan, dan kekakuan. Dengan karakteristik poster tersebut, film religi Indonesia pada awal masa kejayaannya menunjukkan posisinya yang jelas, yaitu menjual narasi nilai-nilai keagamaan Islam secara komersial.
Memasuki dekade 2010-an, film religi Indonesia mulai membawa unsur lanskap negara atau budaya lain. Namun, secara plot, mereka masih fokus dengan bumbu drama romantis seperti kisah cinta segitiga. Dengan perkembangan tersebut, karakteristik poster film religi Indonesia pun berubah dan menciptakan pola tren baru. Film religi populer seperti “Assalamualaikum Beijing” (Guntur Soeharjanto, 2014), “99 Cahaya di Langit Eropa” (Guntur Soeharjanto, 2013), dan “Bulan Terbelah di Langit Amerika” (Rizal Mantovani, 2015 dan 2016) menawarkan poster film dengan latar pemandangan atau bangunan khas kota di luar Indonesia yang membangun narasi ekspansi dan progresivitas ajaran agama Islam. Saturasi yang rendah dan warna yang samar dalam poster seakan menjual mimpi dan harapan yang terkandung dalam cerita film. Tak jauh berbeda dari dekade sebelumnya, poster film-film ini masih menempatkan deretan aktor dan aktris terkenal sebagai fokus utamanya. Dengan karakteristik poster tersebut, film-film religi Indonesia masih menunjukkan sifat komersialnya dengan kemajuan nilai keagamaan yang mengikuti perkembangan zaman.
Beralih ke dekade 2020-an, film religi tak lagi sepopuler dekade sebelumnya di layar bioskop Indonesia. Rumah produksi besar dan para pembuat film kembali membangkitkan genre film horor dan film romansa remaja, membuat layar bioskop dipenuhi dengan cerita-cerita mistis dan kisah cinta masa muda. Di tengah kehausan akan film dengan nilai keagamaan, Falcon Pictures meluncurkan film biografi salah satu tokoh penting dalam perkembangan Islam di Indonesia dengan judul “Buya Hamka” pada April 2023. TFR berbincang secara virtual dengan Fajar Bustomi, sutradara film “Buya Hamka”, untuk membahas perkembangan film religi Indonesia beserta inovasi visual seperti posternya pada dekade baru ini.
Nasib film religi Indonesia pada dekade baru
Era digital ini membuka luas akses pengetahuan, termasuk mengenai ideologi kepercayaan. Kini, semakin banyak perspektif berkaitan dengan keagamaan yang masuk ke lingkungan masyarakat Indonesia. Maka, nasib film religi yang menawarkan norma agama dan nilai-nilai yang diajarkan semakin dipertanyakan. Namun, kemunculan film “Buya Hamka” (Fajar Bustomi 2023) yang berhasil menembus satu juta penonton membuktikan bahwa film religi masih memiliki tempat di tengah masyarakat Indonesia. Fajar Bustomi mengatakan bahwa penonton membutuhkan keragaman tema film seperti religi di tengah gempuran film horor.
“Saya percaya bangsa Indonesia itu adalah bangsa yang religius. Saya percaya bahwa film yang membahas soal pesan keagamaan dan kebaikan yang diajarkan agama pasti ada penikmatnya,” ungkapnya.
Menurut Fajar Bustomi, dibutuhkan keberanian dari rumah produksi, produser, maupun sutradara untuk keluar dari zona nyaman dan tren genre populer untuk bisa membangkitkan kembali genre film religi dengan kualitas baik. Dengan kesuksesan film “Buya Hamka”, ia membuktikan bahwa film religi, bahkan yang berdasarkan tokoh dan peristiwa bersejarah, masih diterima oleh masyarakat Indonesia dan menjadi angin segar di tengah dominasi genre tertentu.
“Sebenarnya, film-film yang bertema keagamaan dan ajaran yang baik itu sukses ketika dibikin dengan sungguh-sungguh. Namun, kebanyakan filmmaker kita bukan orang yang berani untuk mencoba bikin sesuatu yang berbeda. Masih banyak dari mereka yang hanya mengikuti kemauan pasar. Maka, harus ada yang berani,” katanya.
Keberanian filmmaker jadi kunci pengambilan keputusan kreatif dalam film, termasuk poster
Sebagai salah satu film religi tersukses pada dekade baru ini, “Buya Hamka” menawarkan desain poster yang berbeda. Alih-alih mengikuti karakteristik poster-poster film religi pada dekade sebelumnya, poster “Buya Hamka” menampilkan tekstur, font, warna, hingga penempatan pemeran film yang unik. Secara konsep besar, poster film ini ingin menjual “kekunoan” dari narasi sejarah tokoh Islam lewat tekstur, kekusaman warna, dan pakaian para pemeran. Selain itu, poster ini juga ingin menjual konsep baru yang lebih pop dari film religi Indonesia yang ditunjukkan lewat font, komposisi, hingga penggunaan konsep kolase.
“Poster film “Buya Hamka” ini bisa dibilang pop art karena font, foto aktor, semua dikasih efek yang berbeda. Kita ingin buat film religi yang enggak kelihatan kuno tapi tetap terasa film periodiknya,” kata Fajar Bustomi, menjelaskan konsep posternya.
Menurutnya, banyak eksperimentasi yang dilakukan dalam pengambilan keputusan kreatif film “Buya Hamka”. Sutradara kelahiran Jakarta ini juga mengatakan bahwa harus ada keberanian dari pembuat film dalam mendobrak kaidah-kaidah keputusan kreatif film religi yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Proses ini tentu tidak mudah, mengingat ia sendiri menerima banyak kritikan soal desain poster hingga pewarnaan film.
“Film “Buya Hamka” secara poster beda, secara grading beda. Banyak yang protes tapi untuk anak-anak muda ini sesuatu yang berbeda dan baru. Bagi orang yang suka hal yang gitu-gitu aja, mereka protes ‘Kok gini sih?’” cerita Fajar Bustomi.
Secara pewarnaan, poster film “Buya Hamka” lebih berani menggunakan warna-warna yang jarang ditemukan di film religi sebelumnya. Poster ini juga menampilkan kolase foto berwarna hitam putih dan foto dengan warna asli yang sangat pop. Fajar Bustomi juga menekankan bahwa ia tidak ingin ada unsur bahasa lain di poster filmnya untuk menunjukkan kekhasan ajaran agama Islam.
“Pewarnaan film “Buya Hamka” enggak seperti film-film religi pada umumnya. Kami berani karena kami percaya bahwa masa lalu enggak harus ditampilkan dengan visual yang less saturated dan serba hitam putih. Film religi juga bisa terlihat kekinian dan nasionalis tanpa harus ada unsur tambahan bahasa lain seperti penulisan judul dalam bahasa Arab,” ungkapnya.
Keputusan ini tentu keluar dari arus karakteristik poster film religi Indonesia yang melekat dari tahun ke tahun. Keberanian untuk mencoba hal baru menjadi salah satu kesuksesan perkembangan film religi Indonesia, termasuk keputusan kreatifnya seperti karakteristik desain poster.