Quiet quitting: Kerja secukupnya tapi bukan berarti tanpa tujuan
Ditulis oleh Aghnia Hilya | Read in English
“Aku udah capek kerja totalitas kayak dulu waktu awal masuk. Sekarang kerja ya sesuai porsinya aja, kerjain apa yang jadi tugasku, kalau sudah selesai ya sudah. Setelah pandemi makin berasa kalau hidup, tuh, nggak cuma kerja aja, mana kalau kerja di rumah kayak nggak ada jam kerja,” keluh M (26), karyawan swasta yang menyadari bahwa dirinya menerapkan apa yang kini disebut quiet quitting.
Tak dimungkiri, apa yang dilakukan M boleh jadi juga dilakukan oleh sebagian pekerja kantoran saat ini. Meski istilah quiet quitting belakangan ramai diperbincangkan, praktiknya sudah dilakukan dari lama. Ya, jika diartikan secara harfiah, quiet quitting adalah berhenti/keluar diam-diam, tetapi sebenarnya tak sesederhana itu.
Istilah quiet quitting mulai jadi perbincangan kala video TikTok yang diunggah Zaid Khan (@zkchillin) viral sejak 26 Juli lalu. Dalam video yang disukai lebih dari 490 ribu orang ini, Zaid menjelaskan bahwa quiet quitting adalah konsep di mana seseorang meninggalkan ide “going above and beyond” di pekerjaan.
“Anda tidak lagi menganut mentalitas hustle-culture di mana pekerjaan adalah hidup Anda,” ujar Zaid dalam video tersebut. “Pekerjaan bukan hidupmu. Nilai dirimu tidak ditentukan berdasarkan hasil produktivitas Anda,” tulisnya sebagai penegas dalam video yang sudah dibagikan lebih dari 42 ribu kali itu.
Sederhananya, quiet quitting adalah konsep bekerja secukupnya. Quiet quitter (sebutan untuk pekerja yang melakukan quiet quitting) tetap memenuhi tanggung jawab, tugas, pekerjaan, hingga target mereka, tapi enggan terlibat untuk lebih jauh. Tidak ada lembur setelah jam kerja, masuk lebih awal, datang untuk pertemuan yang tidak wajib, hingga menjawab pekerjaan atau email pada akhir pekan atau hari libur.
Dulu, saat harus ke kantor, jam kerja adalah pukul 09.00-18.00 dan setelahnya setiap orang disibukkan dengan urusan pribadi. Namun, karena kini bisa bekerja dari rumah, semua hal bak bisa dilakukan bersamaan. Sebagian orang memang bisa, dan baik hasilnya, tetapi apakah kondisi mentalnya masih baik-baik saja?
Survei Inc and Go pada Mei lalu yang dilakukan terhadap 1.001 pekerja mendapati bahwa 77% merasa kerja berlebihan merugikan keseimbangan pekerjaan dan hidup mereka. Betapa tidak, 49% semakin stres, 42% kelelahan secara emosional, 40% kelelahan secara fisik, 39% kurang tidur, dan 38% tidak memiliki waktu bebas.
Tak usah heran, 71% pekerja penuh waktu kerja berlebihan setidaknya seminggu sekali dan 48% responden beberapa kali seminggu. Bahkan, 5% di antaranya mengalami kerja berlebihan selama 6-7 hari per minggu.
Ada beragam bentuk kerja berlebihan yang dialami responden, mulai dari bekerja lembur (53%), bekerja pada hari libur atau akhir pekan (46%), jam kerja terlalu panjang (48%), perubahan tugas atau prioritas (43%), kerja dengan intensitas atau tekanan tinggi (56%), hingga beban kerja berlebihan (28%).
Keputusan untuk melakukan quiet quitting awalnya berasal dari rasa tak nyaman. Mulanya adalah ketika mereka sadar bahwa ekspektasi tak sesuai, sehingga berujung kepada demotivasi. Psikolog Ammy Kadarharutami mengungkap alasan lain pekerja melakukan quiet quitting. Menurutnya, pekerja akan bekerja secukupnya karena tak lagi ingin memberikan waktu 24 jam untuk pekerjaan.
“Kalau di kantor, kelihatan kerjanya, sementara di rumah tidak. Akhirnya yang dilihat hasilnya saja. Jadi, mereka sampai di titik, hanya harus kasih hasil, bukan segalanya diikuti. Apalagi kalau pekerja itu benar-benar stres, merasa nggak punya waktu, sampai mau burnout. Pada saat itu dia berpikir, kok, waktuku habis banget buat kerjaan? Buatku sendiri nggak ada? Makanya, dia jadi membatasi,” terang Ammy.
Pilihan, bukan terjebak keadaan
M mengatakan bahwa dirinya berani mengambil keputusan untuk bekerja secukupnya bukan tanpa perhitungan. “Aku sadar kantor itu bayar aku ya segitu aja, kerja nambah tapi gajinya nggak. Jadi, mending aku kerja secukupnya di sana, lalu ambil sampingan buat tambahan.”
“Lagian, meski kerja secukupnya dan mungkin kelihatan nggak serajin atau seambisius dulu, targetku masih terpenuhi. Aku mengusahakan biar pulang teng-go dengan kerjaan yang memang selesai,” tambahnya.
Ya, seperti apa yang dilakukan oleh M, umumnya quiet quitter ingin fokus dengan waktunya di luar jam kerja, entah pada pagi hari sebelum kerja atau malam usai kerja, untuk melakukan hal lain, baik hobi, menghabiskan waktu dengan keluarga, atau pekerjaan sampingan.
Lantas, apakah orang yang melakukan quiet quitting selalu terjebak karena berada dalam kondisi tak nyaman? Rupanya, belum tentu. Ammy mengatakan, “Merasa terjebak itu kalau dia (pekerja) memutuskan untuk quiet quitting karena ambil keputusannya terbawa secara emosional.”
Melakukan quiet quitting dengan sadar dan didasarkan atas berbagai pertimbangan bisa memberi manfaat dan mendatangkan keuntungan. Namun, apabila dilakukan tanpa memperhitungkan risiko-risiko di masa depan, quiet quitting bisa berujung pada penyesalan hingga menambah pikiran.
“Kalau ambil keputusan karena terjebak secara emosional, itu memancing persoalan baru. Jika ingin melakukannya, kamu harus punya tujuan sehingga bisa mengelola risiko. Toh, quiet quitting itu ketika pekerja sudah semakin memikirkan diri sendiri dan itu tak ada salahnya,” pungkas Ammy.
Bikin senang, tampak jelek
HR Professional & Content Creator Samuel Ray juga mengatakan bahwa quiet quitting memiliki beberapa kelebihan. “Jadi punya waktu lebih banyak di luar tempat kerja, karena yang melakukan quiet quitting hanya bekerja sesuai SOP, pulang tepat waktu, dan lebih banyak waktu di rumah. Dia bisa lebih eksplor, part time atau freelancing, atau bahkan mencari pekerjaan baru.”
Namun, Samuel dan Ammy menegaskan bahwa quiet quitter perlu melakukan evaluasi diri dan menentukan tujuan kariernya lebih dahulu. Pasalnya, karier harus membawamu menuju tujuan tertentu. Momen ketika melakukan quiet quitting pun bisa menjadi saat refleksi diri.
Di sisi lain, quiet quitting juga bisa membahayakan karier. Kemungkinan buruknya ialah sang pekerja mendapat penilaian buruk di mata atasan karena dianggap tak bisa diandalkan, kurang bersemangat, kerjanya pas-pasan, dan tidak memiliki ambisi.
Hal ini terjadi karena quiet quitter mempertahankan performa pada standar yang bisa diterima. Alhasil, ketika pekerja memutuskan memberi seadanya, maka tak bisa mengharapkan lebih pula.
Samuel pun bilang, jika pekerja melakukan quiet quitting bukan karena alasan emosional, maka tidak mengganggu performanya. Dia bisa lebih fokus mencari pekerjaan baru karena tidak punya alasan emosional yang menghalangi perkembangannya. Saat quiet quitter tak lagi merasa bisa berkembang di kantornya, maka dia mengembangkan dirinya sendiri dan perlahan pindah.
Komunikasi tetap dilakukan
Bagaimanapun juga, quiet quitting adalah sebuah pilihan. Seorang pekerja melakukan kerja secukupnya juga merupakan pilihan.
Selagi masih ingin bekerja di tempat itu, “Komunikasi tetap harus diusahakan. Meski yang kita dapat tak mungkin 100%, tapi itu bagian dari pendewasaan sebagai karyawan kantoran. Jika kita sudah sampaikan, lalu satu quarter tak ada hasilnya, coba komunikasi lagi. Jangan sampai baru sebentar karena tidak terjadi apa-apa langsung quiet quitting,” terang Samuel.
Ammy bahkan menyarankan pekerja untuk mengomunikasikan ke atasan jika akan melakukan quiet quitting. Namun, perhatikan caranya. Komunikasikan keputusan tersebut secara subtil dan sertakan alasan yang logis serta realistis agar atasan pun bisa mengerti. Jangan sampai tampak acuh, tegasnya.
Quiet quitter pun bisa memberi contoh bagaimana mengelola kerja sepanjang hari jadi agar jadi lebih efektif. Pada akhirnya, kerja hanyalah salah satu bagian dari hidup dan bukan satu-satunya yang perlu kamu pedulikan. Bagaimanapun, hidup adalah soal pilihan.